Oleh: Pdt. Yakub Susabda Ph.D.
Memilih pasangan hidup merupakan hal yang sarat dengan pertanggung jawaban iman. Memasuki fase adolescent/ remaja, sejak seorang mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenisnya ia sudah harus mulai mempertanggung jawabkan imannya. Dengan bimbingan yang sehat ia akan memulai petualangan hidupnya dengan prinsip mencari yang "seiman." Kemudian ia mulai belajar mengenali apakah ketertarikan tersebut semata-mata manifestasi dari "sexual instict" atau kebutuhan "psycho-social" yang sehat dari seorang individu dengan identitas atau jati diri yang sehat pula. Nah, jikalau ia sukses melewati fase ini, ia akan memasuki fase pertanggung jawaban iman yang berbeda lagi. Ia akan mengalami betapa modal "seiman dan kepribadian yang sehat" tidak dengan sendirinya dapat menghasilkan komunikasi yang efektif yang menstimulir pertumbuhan masing-masing. Mereka harus mampu menjadi pencipta dan pemelihara sistim yang sehat dan kondusif. Begitulah seterusnya, dalam setiap fase kehidupan ini, remaja berhadapan dengan pertanggung jawaban iman yang berbeda-beda. Mereka membutuhkan bimbingan dan bahkan mungkin pelayanan konseling yang khusus. Sebagai contoh, perhatikan kasus dibawah ini.
Rena sudah benar-benar jatuh cinta. Setelah dua tahun mengenal dan "pacaran" dengan Bram, rasanya hati ini sudah penuh terisi sehingga tak ada lagi ruang keragu-raguan, tak ada lagi pertanyaan "apakah Bram betul-betul orang yang disediakan Tuhan baginya." Yang ada tinggal semangat mempersiapkan hari H yang sudah terbayang-bayang dimata. Memakai pakaian pengantin, upacara kebaktian pemberkatan digereja, dan pesta yang dihadiri keluarga dan teman teman dekat. Ah ... sungguh membahagiakan, tetapi kapan itu terjadi, Rena sendiri belum tahu.
Memang selama ini pacarannya selalu diisi dengan hal-hal yang menyenangkan. Mereka bercumbuan, jalan kesana kemari, dan makan kesukaan masing-masing. Tiap minggu bisa bertemu dua tiga kali dan tak ada bosannya. Memang setiap kali ditanya orang tua, Rena sadar bahwa Bram memang belum pernah mau diajak berbicara tentang rencana ke depan. Bahkan Bram tidak pernah menyatakan dengan kata-kata, cintanya. Bram orang yang baik, lemah lembut, suka bercanda, dan seorang pekerja yang ulet. Cuma, dia bukan orang yang tertarik dengan hal-hal rohani, meskipun ia seorang Kristen dan setiap minggu ke gereja.
Nah, sekarang coba bayangkan jikalau Rena menjadi klien anda. Mungkin beberapa prinsip dibawah ini dapat anda pertimbangkan:
I. Menyadarkan Rena akan sistim yang tidak kondusif yang sudah terbentuk.
Sistim memang seringkali merupakan "subtle enemy/musuh yang tersembunyi." Disebut "subtle" karena umumnya manusia tidak menyadari mengapa ia dan orang-orang dalam lingkaran kecil hidupnya bertingkahlaku sedemikian. Mereka cuma merasakan dampak atau akibatnya. Suatu sistim disebut "tidak kondusif" oleh karena dalam sistim tersebut fungsi-fungsi tertentu dalam peran yang mereka pakai sudah melemah atau hilang. Sebagai contoh, kasus Rena dan Bram diatas. Dalam sistim yang mereka miliki, Bram memainkan peran persis seperti anak-anak yang bermain "petak umpet." Bram sudah dapat diterima untuk berada dalam "tempat persembunyian yang tidak terusik," dan Rena tidak lagi "take it seriously/memikirkan secara serius karena it is a play/cuma permainan." Rena sudah belajar menerima dan beradaptasi bahkan ditengah realita kebutuhan primernya yang tak terpenuhi, dia dapat "menikmati hidup."
Rena harus disadarkan bahwa dalam sistim yang tidak kondusif ini ia akan dirugikan. Seharusnya ia gelisah oleh karena Bram tak pernah "secara verbal" mengatakan cintanya, dan seharusnya dia kuatir mengapa Bram tidak mau diajak berbicara mengenai masa depan mereka. Tetapi realitanya kegelisahan dan kekuatiran tersebut dapat dengan begitu mudah dilupakan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam dirinya? Nah, itulah yang seharusnya Rena sadari.
II. Menyadarkan Rena akan keunikan kepribadiannya sendiri.
Meskipun setiap individu bisa mempersalahkan sistim, tetapi sebenarnya penentu utamanya adalah dirinya sendiri. Mengapa Rena tidak mempunyai drive yang cukup untuk mencari kejelasan posisi dan hubungan pribadinya dengan Bram? Apakah ia takut kalau dirasakan "menekan dan memaksa" (oleh karena resiko yang dampaknya "unpredictable/tidak dapat diprediksi") atau ia sebenarnya pribadi yang tidak berprinsip? Apakah ia mencintai Bram oleh karena alasan-alasan yang prinsipiel, atau cintanya pada Bram semata-mata kerja dari instinctnya), Apakah ia orang Kristen yang sudah mengenal dan mengimani prinsip dan tujuan pernikahan Kristen, atau ia hanyalah seorang Kristen KTP yang tidak mengerti dan tidak mempedulikan keseriusan karya Kristus dengan dampaknya dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pernikahan.
Nah, kepribadian manusia pada akhirnya adalah penentu dari segalanya. Kondisi dan masalah diluar dirinya hanyalah faktor-faktor pencetus, dan itu bukanlah penentu kehidupan. Seorang individu bisa mempunyai suami yang jahat, tidak setia dan tidak bertanggung jawab dan ia dapat meresponi kondisi yang buruk tersebut dengan menciptakan sistim kehidupan yang mempunyai dampak perubahan dalam diri suami karena dalam diri individu tersebut ada faktor bawaan yang baik. Sebaliknya, seorang individu yang beruntung bisa menikah dengan suami yang sangat saleh, berintegritas tinggi dan penuh dedikasi pertanggung jawaban dan toch kehidupan rumah tangganya berantakan karena ia adalah individu dengan faktor bawaan yang jelek.
Cinta yang didasarkan pada alasan yang prinsipiel adalah cinta yang dibangun diatas alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (mis: seiman, tumbuh atau cukup dewasa secara rohani, pribadi yang berintegritas berarti jujur dalam kebenaran, pribadi yang peka dan peduli, pribadi yang rajin dan bertanggung-jawab, dsb). Sedangkan cinta yang semata-mata kerja dari instict adalah cinta yang timbul oleh karena pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak prinsipiel (mis: rasa senang, rasa cocok, rasa happy karena dapat mengisi kebersamaan dengan pemenuhan selera yang sama). Memang salah satu komponen terpenting dari cinta adalah "intimacy." Tetapi intimacy yang sejati, yang membangun kecocokan haruslah intimacy yang didasarkan atas alasan-alasan yang prinsipiel.
Salah satu pertanyaan terpenting dalam setiap sesi konseling adalah "siapakah sebenarnya klien ini?" Berarti dalam pertanyaan tersebut, akan muncul pertanyaanpertanyaan lain seperti misalnya: bagaimana pola pikirnya, kerja emosinya, dan sikapnya ditengah realita kehidupan yang ia hadapi? Mengapa demikian? Apa sebenarnya yang dibutuhkannya dan apakah kebutuhan tersebut wajar? Jadi, apa sebenarnya tujuan atau objektif dari pelayanan konseling ini?
III. Menyadarkan Rena akan keseriusan pernikahan Kristen.
Memang mayoritas manusia, termasuk umat Kristen menikah tanpa menyadari keseriusannya. Allah yang hidup adalah Allah yang berinisiatif menciptakan manusia dan menghendaki, melalui pernikahan, melahirkan anak-anak yang akan dipersiapkan untuk menjadi rekan-rekan kerjaNya dalam menggarap seluruh aspek kehidupan ini. Kejatuhan dalam dosa tidak menggagalkan seluruh rencana Allah tersebut, sehingga Ia memberikan anakNya yang tunggal Yesus Kristus, supaya melalui kematian dan kebangkitanNya, mengembalikan kita semua kepada posisi semula. Berarti pernikahan dan keluarga menjadi mitra kerja Allah yang paling utama. Melalui pernikahan, setiap individu Kristen dipanggil untuk tumbuh menjadi serupa dengan gambar Anak Allah Yesus Kristus (Roma 8:29), sehingga mereka siap menjadi rekan-rekan kerja Allah dalam mendidik anak-anak yang percayakan Allah kepada mereka, dan meresponi panggilan Allah sesuai dengan talenta dan "spiritual giftlkarunia rohani" masing-masing.
Objektif pernikahan Kristen sungguh sangat serius, dan Rena harus memahami dan mulai belajar menghidupinya. Memahami keseriusan objek pernikahan, adalah indikator adanya kehadiran karakteristik Kristiani dalam masa-masa pacaran. Kearah itulah bimbingan konseling anda kepada Rena.
Tuhan memberkati selalu.