Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Saya sangat kecewa. Hubungan kami sebagai suami-istri yang selama ini kami sebut sebagai cinta ternyata keliru. Saya makin lama makin tidak dapat memahami dia. Dia ternyata bukan pribadi yang baik, setia, dan mengasihi saya. Dia memperalat saya. Hatinya busuk. Habis manis sepah dibuang ...
Pernyataan ini disampaikan dihadapan seorang konselor dengan uraian air mata dan emosi yang tak terbendung. Hidup memang seringkali tidak fair, tetapi yang lebih mengherankan, adalah jikalau perlakuan yang sangat tidak fair tersebut dilakukan oleh seorang aktivis gereja yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam pelayanan rohani. Siapa dia yang sesungguhnya? Apakah dia pemain sandiwara yang ulung atau apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya sehingga ia menjadi pribadi yang demikian?
Kasus diatas dialami oleh Tina (bukan nama sebenarnya) seorang wanita yang sederhana yang lahir dan dibesarkan ditengah keluarga yang kaya raya. Ayahnya adalah pemilik berbagai perusahaan yang sangat berhasil. Sebagai anak tertua, Tina sangat dikasihi kedua orang tuanya. Tidak heran perkenalannya dengan Edgar (bukan nama sebenarnya) yang berasal dari keluarga broken home dan ayah yang punya kebiasaan berjudi, mula-mula sangat ditentang kedua orang tuanya. Cinta mereka tidak terbendung dan hubungan mereka terus berlanjut mungkin karena keduanya aktif di gereja. Akhirnya kedua orang tua mengijinkan setelah melihat Edgar yang sopan dapat menunjukkan keberhasilan dalam studi, pelayanan, dan kehidupan pribadinya.
Mereka menikah, mempunyai dua orang anak yang lucu-lucu, dan kehidupan pernikahan mereka "bahagia." Mereka hampir tak pernah bertengkar. Keduanya masih aktif di gereja bahkan kemudian Edgar mulai terpilih menjadi majelis gereja. Usahanya juga maju pesat, apalagi setelah mendapatkan tambahan modal dari mertuanya. Tiba-tiba mulai tahun yang lalu, Edgar menunjukkan perubahan. Sikapnya dingin, kalau berbicara ketus, dan hampir selalu pulang terlambat. Suatu malam Edgar mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Ia berkata: "ini bukan salahmu Tina ... ini masalah saya sendiri ... jujur, saya sebenarnya tidak pernah mencintaimu ... selama ini saya berusaha untuk belajar mencintaimu ... sayang tak pernah berhasil ... mungkin lebih baik kita pisah saja ... saya sudah menemukan wanita yang saya cintai ... "
Siapa Edgar yang sesungguhnya? Apa yang dapat dilakukan menghadapi kasus seperti ini?
1. Memahami bahwa dalam lubuk hati manusia yang terdalam seringkali tersimpan hal-hal yang jahat.
Tuhan Yesus mengingatkan bahwa "orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat" (Mat 12:35). Perbendaharaan dari "orang yang jahat" adalah sesuatu yang tersimpan dalam hati sebagai "pikiran yang jahat, pembunuhan, perjinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, hujat dsb ..." (Mat 15:19). Sigmund Freud menyebutkan tentang hal yang sama dengan istilah "unconsciousness"/alam ketidaksadaran yang menyimpan dorongan-dorongan tertentu yang munculnya tak terduga. Dorongan-dorongan dengan kekuatan yang besar tersebut dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman "repressions" pada masa lampau. Artinya, ada keinginan-keinginan yang terpaksa harus ditekan karena "anxiety"/kegelisahan atas ketidak-mungkinan memenuhi keinginan tersebut.
Tentu, tidak setiap manusia jahat, tetapi dalam kehidupan manusia pada umumnya hampir setiap individu lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang "tidak sempurna" sehingga menyimpan hal-hal jahat dalam hatinya. Pengenalan akan keselamatan dan pertobatan seharusnya menyadarkan individu-individu tersebut akan apa yang ada didalam perbendaharaan hatinya. Oleh karena itu seharusnya ada kegelisahan dan upaya mematikan hal-hal yang jahat tersebut sebelum dorongannya memanifestasikan diri dalam bentuk perbuatan. Dalam kasus diatas, pada saat Edgar ingin dan kemudian menikahi Tina, seharusnya ia berani jujur membuka (Yakobus 5:16) dan mematikan benih-benih kejahatan yang tersimpan didalam hatinya. Tidak seharusnya Edgar menekan perasaan dan memakai berbagai mekanisme pertahanan justru untuk melupakan kehadiran hal-hal yang jahat tersebut.
Memang selama kondisi kehidupan masih normal, hal-hal jahat tersebut tidak menemukan alasan untuk dimanifestasikan. Namun kehidupan selalu membawa muatan kebosanan dan kejenuhan, sehingga dalam kasus diatas, Edgar yang membutuhkan variasi hidup, berhubungan dengan wanita lain dan terj ebak. Dengan kehadiran faktor pencetus inilah hal-hal jahat yang selama ini tersimpan dalam hatinya mulai menyatakan dirinya. Edgar adalah seorang penjinah oleh karena memang ia sudah menyimpan benih-benih perjinahan didalam hatinya.
2. Memahami natur interpersonal relationship antar suami dan istri yang selalu bergerak dalam arah death instinct.
Kehidupan dalam dosa selalu bergerak kearah yang negatif dan merusak hal-hal yang baik. Freud (yang cuma mengamati fenomena/gejala yang nampak) menyebutnya dengan istilah "death instinct." Gejala ini hadir dimana-mana dan dalam konteks kehidupan apa saja, termasuk dalam hubungan antar suami-istri yang bergerak meninggalkan fase I yang indah menuju fase II, III dan bahkan ke IV yang menghancurkan kehidupan pernikahan.
Mula-mula hubungan suami-istri berada di fase I yang ideal, dimana toleransi dan keinginan untuk saling membahagiakan sangat besar. Inilah fase honeymoon/bulan madu yang seharusnya terus dapat dipelihara dan dihidupkan oleh setiap pasangan suami-istri. Sayang sekali dalam jangka waktu yang pendek "death instinct" akan mendorong hubungan itu masuk ke fase berikutnya, yaitu fase II dimana masing-masing akan berani menjadi dirinya tanpa topeng courtesy/sopan santun. Akibatnya muncullah berbagai "dislikeness/ketidak-sukaan" antara mereka berdua. Misalnya: berani marah pada saat pasangan melakukan hal yang tertentu dengan cara yang lain (a.l. mandi terlalu lama). Biasanya "dislikeness" akan muncul dengan lebih kuat kalau pasangan memakai prinsip yang berbeda (a.l. mendisiplin anak yang bersalah tanpa menggunakan punishment). Jadi, dalam fase II masing-masing suamiistri menemukan berbagai "dislikeness" atau hal-hal yang mereka tidak sukai dalam diri pasangannya. Suami tak suka cara istri berbicara, tidur, memakai telephone, menaruh barang, meng-handle pembantu rumah tangga, bersikap dihadapan mertua, dan sebagainya begitu pula sebaliknya istri terhadap suami.
Dengan banyaknya "dislikeness" yang masing-masing simpan dalam hatinya, mereka berdua sangat rentan sehingga mudah sekali mereka memasuki fase III dimana "dislikeness" akan berubah menjadi "bitterness/kepahitan dan luka hati." Begitu ada masalah yang perlu ditangani dan diputuskan bersama, mereka akan berkomunikasi dengan muatan berbagai "dislikeness" sehingga konflik tak terhindarkan dan mereka akan saling melukai.
Fase III yang berisi berbagai pengalaman "bitterness" menghasilkan gap atau jurang pemisah antar suami-istri. Sehingga masing-masing mulai merasakan perlunya mencari udara segar diluar. Hubungan mereka didalam rumah tangga sudah menjadi hubungan yang tak dapat dinikmati lagi. Kadang-kadang berbicarapun seperlunya saja. Bahkan ada yang mengambil sikap tidak saling melayani dan tidur di kamar yang berbeda. "Emotional divorce/perceraian secara emosional" ini biasanya akan disertai dengan tindakan-tindakan yang fatalistik sifatnya. Misalnya: mulai curhat dan membuat ikatan baru dengan wanita atau pria lain. Itulah fase IV yang siap untuk menghancurkan setiap sendi dan fondasi pernikahan mereka.
Yang terjadi dengan kasus Edgar dan Tina adalah realita munculnya hal-hal jahat dalam jiwa Edgar pada fase II pernikahannya. "Dislikeness" dari pihak Tina mungkin tak ada, tetapi bagi Edgar kebosanan sudah menjadi dislikeness dengan drive/dorongan yang begitu kuat untuk menemukan alasan untuk berbuat jahat.
3. Perlunya married konseling psikoterapi.
Biasanya masalah kepribadian seperti Edgar tak dapat diselesaikan dengan "nasehat." Kemungkinan besar dia sendiri tahu kebenaran firman Tuhan dalam hubungan dengan kelemahan-kelemahannya, tetapi sama seperti Daud dan anak-anak Tuhan yang lainnya, hal mengenal kebenaran "secara cognitive/akali" ternyata tidak dengan sendirinya mengubah kehidupannya. Perlu pengenalan akan kompleknya kerja jiwanya sendiri dengan aspek-aspek dan dampaknya dalam pembentukan pola-pola tingkah-laku yang merugikan. Seringkali manusia tidak berdaya dan membutuhkan bantuan individu yang professional yang memang memiliki talenta dan karunia rohani dalam konseling (Roma 12:8; I Kor 12:8).
Disamping itu, Tina perlu ditolong untuk memahami apa yang terjadi dan belajar tumbuh makin siap menjadi penolong yang sepadan bagi suaminya "yang bermasalah." Roh pengampun dan hati yang lemah lembut yang menjadikan dirinya "godly woman/wanita saleh" perlu ia minta dan miliki (I Pet 3: 1-ff). Melalui itulah Edgar dapat berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus yang hadir dalam kehidupannya, dan mengalami kuasa kesembuhanNya.
Tuhan memberkati setiap hati yang rela untuk dibentuk oleh-Nya.