Oleh: Pdt. Yakub Susabda Ph.D.
Kehidupan Kristiani adalah kehidupan dalam kasih karunia Allah/God's grace. Artinya, dalam kehidupan orang-orang Kristen yang sudah diselamatkan ada kesempatan untuk menerima dan meresponi kasih karunia Allah yang dinamis, yang terus-menerus disediakan untuk melengkapi orang-orang percaya dalam kehidupan mereka. Interaksi orang percaya dengan kasih karunia Allah inilah kunci penentu kehidupan orang Kristen. Seberapa jauh kemajuan kehidupan mereka sebagai orang-orang percaya tergantung mutlak pada seberapa banyak mereka menyambut dan mensyukuri kasih karunia yang Allah berikan.
Paulus mengakui bahwa ia menjadi sebagaimana ia ada sekarang ini karena kasih karunia Allah (I Kor 15:10). Alkitab menyaksikan bahwa Apollos juga menjadi orang yang berguna oleh karena kasih karunia (Kis Ras 18:27). Bahkan setiap pelayanan Kristen dinilai berguna jikalau terjadi oleh karena kasih karuniaNya (II Kor 4:15). Itulah sebabnya Paulus berdoa supaya kasih karunia ini terusmenerus hadir dan menyertai kehidupan orangorang yang sudah diselamatkan (Roma 1:7,1 Kor 1:3, II Kor 1:2, Gal 1:3, Eph 1:2).
Sayang sekali anugerah dan kesempatan yang luar biasa ini, realitanya, hampir selalu ditolak dan diabaikan oleh orang-orang percaya. Sebabnya bisa bermacam-macam dan semuanya sebenarnya adalah manifestasi dosa manusia. Kadang-kadang itu bisa merupakan manifestasi dosa yang disadari dan disengaja, bisa pula merupakan manifestasi dosa yang "setengah disadari/preconscious," bahkan dapat pula merupakan perwujudan dari dosa dan kelemahan yang tidak disadari/ unconscious." Untuk yang terakhir ini, penulis Mazmur 19 pernah mengeluh dan meminta didalam doanya supaya Tuhan membebaskan dirinya dari "dosa-dosa yang tidak disadari" (Mazm 19:13).
Seringkali dalam pelayanan konseling, kita menemukan persoalan klien yang akarnya adalah dosa atau kelemahan yang "tidak disadari/unconscious." Mungkin yang dikeluhkan klien adalah perasaan terjebak tidak berdaya menghadapi berbagai dorongan, mungkin pula yang dikeluhkan adalah munculnya keinginan-keinginan diluar kemauannya, bahkan mungkin pula yang dikeluhkan adalah ketidak-berdayaan terhadap kegelisahan, perasaan ragu-ragu, khawatir, putus-asa, tidak bersemangat, kehilangan tujuan hidup, bahkan tidak jarang berbagai bentuk ketakutan yang tidak masuk akal yang melumpuhkan keinginan untuk meresponi kasih karunia Allah dan kesempatan-kesempatan baik dalam kehidupan ini. Nah, khusus dalam hubungan dengan hal yang terakhir ini, perhatikanlah keluhan seorang ibu dibawah ini.
Saya seorang dosen bahasa Inggris lulusan universitas yang terbaik. Saya sudah mengajar lebih dari 10 tahun. Selama ini semua berjalan dengan baik, kecuali tiga bulan terakhir ini. Saya tidak tahu kenapa, tiba-tiba saya seringkali cemas, jantung berdebar-debar dan kehilangan keseimbangan. Pernah mau naik pesawat terbang, tiba-tiba saya begitu takut, sampai saya batalkan. Saya sudah konsultasi dengan seorang dokter ahli dirumah sakit. Kondisi tubuh saya semua baik. Dia cuma menganjurkan supaya saya beristirahat dan belajar lebih relaks. Yah, saya turuti bahkan dengan rutin berolah-raga pagi, tetapi gejala takut itu tetap timbul tenggelam. Kadang-kadang muncul begitu saja.
Memang pernah kehidupan pernikahan kami kurang harmonis. Suami saya pernah selingkuh, tetapi itu sudah beberapa tahun yang lalu, dan sudah kami bereskan. Kehidupan rumah-tangga kami sekarang baik, dan suami sudah mulai aktif di gereja. Yah, tak ada masalah apa-apa yang seriuslah, meskipun kadang-kadang saya khawatir kalau suami sedang pergi keluar kota. Habis, memang beberapa perusahaan kami ada di luar kota.
Mendengar keluhan ibu diatas, mungkin beberapa hal dibawah ini perlu mendapat perhatian khusus dari konselor.
Pertama, kenali apa yang sedang dialami ibu tersebut.
Benar, ibu tesebut mengalami gangguan phobia atau ketakutan yang tidak masuk akal (unusual fear of something). Objek dari phobia itu bisa apa saja. Bisa takut akan air, api, anjing, tikus, kecoa, darah, keramaian, ketinggian, ruang tertutup, atau apa saja. Objek phobia tersebut biasanya menjadi objek oleh karena peristiwa atau pengalaman "traumatic/ menakutkan" yang pernah dialami dimana objek tersebut kebetulan menjadi salah satu bagian utama darifaktorpencetusnya/precipitatingfactor. Misalnya, seorang bisa mempunyai phobia pada anjing karena pernah digigit anjing. Sehingga setiap kali melihat anjing atau akan berjumpa dengan seekor anjing (mis: ia mendengar bahwa rumah yang akan disinggahi mempunyai seekor anjing) langsung instink ketakutan muncul disertai dengan keringatdingin, gemetaran, bahkan ada yang disertai kelumpuhan-kelumpuhan tertentu. Ketakutan dari suatu phobia tidak sama dengan ketakutan "wajar" pada anjing galak yang memang sedang siap menerkamnya.
Terbentuknya phobia merupakan misteri yang kompleks. Ada individu-individu tertentu yang entah mengapa mempunyai reaksi yang bentuknya phobia untuk pengalaman-pengalaman menakutkan atau mengkhawatirkan yang ia alami. Ada misteri yang tak selalu dapat dipahami didalam dunia alam bawah sadar/unconsciousness, mengapajiwa individu tersebut bereaksi demikian untuk pengalaman yang ia alami. Disebut sebagai misteri, oleh karena intensitas dan pengalaman itu sendiri tidak selalu menjadi indikator yang jelas. Ada yang hanya oleh karena pertengkaran orang tua bisa menghasilkan phobia kesendirian (takut pada saat sendiri), ada pula yang hanya oleh karena melihat maling dipukuli di pasar telah membuat seorang mempunyai phobia akan keramaian (agora-phobia). Ada individu yang pernah terpeleset dari tangga dan kemudian mempunyai phobia ketinggian (acro-phobia), dan individu yang lain mengembangkan ketakutan berada dalam ruang tertutup (claustro-phobia) karena pernah dihukum dikunci dalam gudang. Penyebabnya bisa apa saja, tetapi yang menentukan sebenarnya adalah faktor bawaannya/predisposing factor. Dengan demikian, bagi konselor, pengenalan akan masa kecil klien merupakan hal yang sangat penting. Biarkan klien berceritera tentang masa kecil dan pengalaman-pengalamannya kepada anda.
Untuk kasus ibu diatas, phobia yang dialami sebenarnya masih belum jelas akarnya. Perlu bagi konselor untuk membiarkan dia berceritera tentang masa kecilnya dan pengalaman-pengalaman dengan kedua orang tuanya. Biasanya akarnya ada disana. Mungkin pernah ada pertengkaran kedua orang tua (mis: sampai "almost divorce") yang begitu menakutkan, dan sekarang pengalaman yang sejenis ia alami dengan suaminya. Mungkin ada masa dimana daya tahannya masih cukup baik sehingga "dorongan unconsciousness" belum membentuk phobia, tetapi kemudian dengan jalannya waktu dimana kegelisahan dan kekhawatiran kemudian terus berkepanjangan, sampai daya tahan tersebut runtuh dan phobia itu muncul.
Kedua, belajar memahami pertolongan apa yang bisa dilakukan.
Sebenarnya kasus-kasus phobia bukanlah kasuskasus yang dapat ditangani oleh konselor awam. Meskipun demikian, konselor-konselor awampun boleh mengenal dan belajar tentang berbagai pendekatan yang dipakai oleh para professional. Sebagai contoh, dari Behaviorist dengan pendekatan S/R (Stimulus Response).
Pendekatan yang antara lain dikembangkan oleh Psikiater Joseph Wolpe dari Temple University di Philadelphia ini disebut Desensitization therapy. Prinsip dari therapy ini antara lain adalah menemukan "Hierarchy of fears/ dari the most feared sampai yang the least feared." Artinya, dengan menemukan itu, konselor akan mulai dengan yang "the least feared/yang paling sedikit memberi rasa takut," dari objek tersebut. Lalu melatih sampai klien mempunyai "cognitive changes," atau "cognitive desensitization' dimana pikirannya dapat bekerja dengan rasionalisasi yang baik sehingga menemukan alasan cognitive untuk tidak takut lagi. Bahkan kemudian mempunyai "voluntary muscular relaxation" atau sampai klien bisa rileks menghadapi objek tersebut. Misalnya, phobia pada anjing dapat dimulai dengan "the least feared" yaitu dimulai dengan memberikan seekor anak anjing yang masih kecil dan lucu yang bisa di elus-elus, sampai klien merasa rileks dan tidak mempunyai ketakutan lagi. Saat itu klien akan mulai dapat mengembangkan "cognitive desensitization," dan merasakan tidak adanya lagi alasan untuk takut pada anjing yang kecil tersebut. Dan ... secara bertahap, dengan makin besarnya anjing tersebut, bertahap pula perasaan rileksnya tercipta dalam jiwanya. Pada akhirnya phobia pada anjing akan hilang. Melihat seekor anjing yang galakpun, jiwanya tenang dan gejala-gejala phobia tidak nampak lagi.
Nah, ini hanya salah satu kemungkinan, dan konselor awam pun berhak bahkan seharusnya mulai belajar melalui bacaan-bacaan yang tersedia sehingga kemampuannya dalam pelayanan konseling makin baik.