Oleh: Pdt. Yakub Susabda Ph.D.
Masalah terbesar dalam hidup manusia sepanjang jaman adalah kegagalan untuk mengatasi dan memperbaharui manusia lamanya/"old self". Seorang hamba Tuhan dengan tepat mengatakan bahwa, "it is easier for God to create the whole universe, than to help a Christian grows/lebih mudah bagi Allah menciptakan jagat raya yang begitu hebat daripada menolong seorang Kristen bertumbuh, berubah dan diperbaharui." Allah sudah memberikan anak-Nya yang Tunggal, berinkarnasi bahkan mati di atas kayu salib, dan lebih dari itu Allah dalam Roh Kudus sudah melahir-barukan orang percaya, menghadirkan Roh Penolong tersebut untuk terus-menerus menyertai orang percaya tetapi ... ternyata realitanya pertumbuhan, perubahan dan pembaharuan berjalan begitu lambat. Janji Allah bahwa "yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang" (2Kor. 5:17) seolah-olah lebih merupakan pengharapan daripada kenyataan. Atau, sebenarnya pengertiannya bukan pada aplikasi praktis tetapi teologis. Sehingga terjemahan ayat tersebut seharusnya adalah "yang lama dianggap atau dinilai Allah, sudah berlalu." Ini benar-benar masalah iman. Tidak heran jikalau orang percaya yang masih jatuh bangun dalam dosapun, disebut "di dalam Kristus tidak berbuat dosa lagi" (1Yoh. 3:6, 9).
Sekarang di tengah realita tersebut di atas, bagaimana dan apa sebenarnya peran konseling?
Kasus:
Nikolas (bukan nama sesungguhnya) lahir dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Sebagai anak pertama, entah mengapa ia selalu merasa tersaingi oleh adiknya (sibling rivalry) yang dua tahun lebih muda daripadanya. Sejak di SD, nilai-nilai di sekolah terus menurun, apalagi setelah ia naik ke kelas lima dengan nilai pas-pasan. Sejak itu, ia satu kali tidak naik kelas, sehingga disusul oleh adiknya. Mereka keduanya lulus dari SMP, tetapi nilai hasil ujian Nikolas jauh di bawah si adik.
Di SMU, Nikolas dikenal sebagai anak pemurung dan tidak berprestasi. Meskipun demikian ia kelihatan baik-baik saja. Tak ada hal-hal yang "kelewatan" sehingga membuat kedua orang tua panik. Sampai, di SMU kelas III menjelang ujian akhir dimana peristiwa mengagetkan terjadi. Nikolas coba bunuh diri dengan minum sebotol Baygon. Untung ia dapat diselamatkan, tetapi apa yang dapat dilakukan kemudian?
Dalam percakapan beberapa kali dengan konselor, Nikolas menceriterakan tentang keputusasaannya. Dia merasa dirinya tidak berharga, tidak berguna dan tidak mempunyai tujuan hidup. Ia yakin ia pasti gagal dalam ujian yang akan datang. Ia merasa selalu mengecewakan kedua orang tuanya. Sebagai anak Tuhan ia mengakui bahwa ia percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, tetapi ia mengaku tidak pernah merasakan dan mengalami kasih Allah.
Menghadapi Nikolas dengan kasus seperti ini, beberapa prinsip konseling di bawah ini dapat diperhatikan, yaitu:
Pertama, membedakan antara "precipitating factors" dan "predisposing factors" (antara faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor bawaan)
Apa yang dirasakan Nikolas dan apa yang dialaminya sehingga ia mencoba bunuh diri adalah reaksi pribadinya untuk faktor pencetus yang ada. Mungkin faktor tersebut adalah ujian yang akan dihadapi, teman-teman dan khususnya adiknya yang lebih pandai; sikap kedua orang tuanya yang dirasakan menuntut supaya ia berhasil; kekurangsiapan dirinya karena ia kurang tekun belajar, bahkan mungkin ada yang lain. Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun seriusnya, tetap hanyalah faktor pencetus dan itu bukanlah inti persoalan Nikolas yang sesungguhnya. Persoalan Nikolas yang sesungguhnya adalah faktor-faktor bawaan yang ia miliki, yang merupakan perpaduan antara unsur heriditer dan pengalaman-pengalaman belajarnya sejak kecil. Hal-hal ini telah membentuk pola-pola kerja jiwa yang unik yang ternyata tidak cukup membekali dirinya untuk meresponi dan menghadapi faktor pencetus yang ada. Itulah sebabnya, ia akhirnya mencoba bunuh diri.
Peran konselor yang utama adalah menolong Nikolas menyadari apa yang sebenarnya telah dan sedang terjadi dalam hidupnya. Sebagai remaja, Nikolas sudah siap untuk memahami faktor bawaan yang telah terbentuk dalam jiwanya. Itulah sebabnya konselor perlu menjadi teman bicara yang mengubah dan memperbaharui pola kerja pikirannya. Kalau biasanya pikirannya cuma mengikuti kerja instink dan perasaannya, maka sekarang konselor perlu membawa Nikolas masuk dan mulai memakai cara berpikir yang baru yang lebih rasionil dan berdasarkan pemahaman atas pengalaman-pengalaman masa lalu dan akibatnya. Misalnya, hubungannya dengan adik dan kedua orang tuanya. Nikolas perlu memakai pikiran yang lebih objektif, sehingga ia dapat lebih positif menilai dirinya sendiri. Betapa mula-mula mungkin ia dapat berprestasi dalam sekolah oleh karena ia memang punya kemampuan, tetapi sikap kedua orang tua dan kehadiran adiknya telah mengubah penilaiannya terhadap dirinya sendiri. Mengapa demikian dan apa yang telah terjadi dalam kehidupannya di tahun-tahun pertama masa sekolah tersebut?
Konselor tak boleh terjebak cuma bereaksi atas faktor pencetus sehingga sibuk mencari resep yang pas supaya Nikolas tidak akan lagi mencoba melakukan bunuh diri. Sekali lagi, apa yang dikeluhkan klien hanyalah fenomena luar dari masalah-masalah di belakangnya. Oleh sebab itu yang terpenting, dalam konteks pelayanan konseling adalah menyadarkan klien atas faktor bawaan yang ada dalam jiwanya. Setelah disadari, konselor dapat memberikan latihan terapi kepada Nikolas, disamping tentunya menolong dia untuk dapat membawa pergumulan dengan old self predisposing factors tersebut kepada Tuhan. Seorang hamba Tuhan pernah mengatakan, "Yes, Christ is the answer, but what is the question/benar, Kristus adalah jawabnya, tetapi apa sebenarnya pertanyaan kita?" Nikolas harus ditolong untuk mengenali faktor bawaan yaitu masalah "old self"nya dalam pergumulan doa yang lebih dewasa kepada Tuhan. Tidak lagi doa minta-minta, tetapi suatu doa pergumulan dimana Nikolas berani dan dapat menjabarkan detail kait-kaitan faktor yang menjadi predisposing jiwanya, dan meminta kepada Tuhan untuk menolong membebaskan dari dampak-dampak negatifnya. Kesadaran dan tekad untuk mematikan manusia.lama seperti inilah bukti dari keselamatan seorang. Dalam konteks inilah orang percaya dianggap dan dinilai "tidak berbuat dosa lagi" (1Yoh 3: 6, 9). Peran konseling sangat penting dalam kehidupan anak-anak Tuhan. Hanya melalui konseling, kesadaran akan realita keselamatan yang sudah dianugerahkan Allah menjadi nyata, yaitu kesadaran untuk bergumul dengan Tuhan menyelesaikan akar masalah yang menjadi faktor bawaan dalam kehidupannya. Bergumul sendiri dalam kesadaran dan dalam area yang tepat adalah bukti kehidupan dalam tuntunan Roh Kudus.
Masalah Nikolas seringkali menjebak konselor dalam fokus dan orientasi yang keliru. Bukan saja konselor bisa terjebak dengan orientasi pada faktor pencetus sehingga ia hanya tertarik pada upaya membebaskan klien dari fenomena persoalan yang dihadapinya, tetapi ia bahkan bisa kehilangan prinsip bagaimana menolong klien masuk dalam "momentum prima of genuine encountering with God/momentum kairos perjumpaan yang sesungguhnya dengan Allah."
Sebagai orang Kristen, konselor seharusnya mengerti bahwa masalah konseling selalu berkaitan dengan masalah iman. Meskipun konseling bukan khotbah atau pemberian nasehat firman Allah, keberhasilan konseling hanya terjadi jikalau klien benar-benar mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah. Hal ini terjadi pada saat klien menemukan kesadaran dirinya atas apa yang sedang dialami dan bergumul dengan Tuhan dalam konteks kesadaran tersebut. Untuk itu ada tiga faktor terpenting yang klien harus miliki, yaitu:
a. Keinginan untuk belajar
Sebagai klien ia harus mencari dan belajar memahami natur dari masalah pribadinya. Jikalau itu masalah depresi, ia harus didorong untuk membaca buku-buku yang membahas depresi secara mendalam. Begitu juga, jikalau itu masalah rendah diri, atau masalah kemarahan yang terpendam, atau masalah apa saja. Ia harus menjadi pribadi yang melek ilmu pengetahuan, plus tentunya pengetahuan Alkitab yang akan menolong dirinya memahami sungguh-sungguh apa yang sedang dialaminya, aspek-aspek apa yang berkaitan dengan masalahnya, dan langkah-langkah apa yang seharusnya ia ambil untuk membebaskan diri dari jerat masalah tersebut.
b. Beban untuk berdoa
Dengan bahan-bahan yang dibaca dan dipelajari, klien dapat masuk ke dalam pergumulan doa yang lebih dewasa. Untuk itu konselor harus dapat memberi contoh bagaimana bergumul dengan Tuhan dalam doa dengan bahan-bahan kesadaran diri yang lebih baik. Sebagai contoh, doa dengan kesadaran diri akan masalah "depresinya." Dalam doa tersebut, klien dapat mengatakan kepada Tuhan akan pergumulannya untuk membebaskan diri dari pola kerja perasaan dan pikirannya, bahkan ia dapat menyebutkan tentang aspek-aspek kehidupan yang ternyata ikut membentuk sistim kepribadian yang menenggelamkan dirinya dalam depresi. Mungkin hubungannya dengan ayah, ibu, saudara sekandung, teman, atau dengan siapa saja. Lalu apa strategi kehidupan yang akan ia mulai bangun untuk mengatasi semua masalah ini.
Nah, dengan pola dan sistim doa yang "baru" ini, klien tidak lagi hidup dengan "old-self" yang tidak sadar diri, dan yang cuma bingung meresponi faktor pencetus secara "instinctive".
c. Tekad untuk melangkah dalam sistim kehidupan yang baru
Meskipun konseling tidak sama dengan pemberian resep mengatasi persoalan hidup klien, konseling selalu berkaitan dengan perubahan dan pembaharuan hidup. Berarti "old-self" yang merugikan dimatikan dan "new-self" dipraktekkan. Nah, dalam konteks "new-self" itulah konselor harus menolong klien untuk menyadari kepentingannya, dan memiliki tekad untuk melaksanakannya.
Meskipun demikian, "new-self" ini sekali lagi bukanlah tingkah laku praktis dalam kaitan dengan respon klien atas faktor pencetusnya. New-self yang sejati hanya dimulai dengan kesadaran diri akan akar masalah dalam faktor bawaannya. Sehingga "new-self" adalah sikap, pikiran dan tingkah-laku yang lahir dari kesadaran diri yang baru tersebut.
Nah dengan ketiga prinsip di atas, ada pengharapan bahwa Nikolas dan klien-klien yang lain dapat ditolong. Di dalam Tuhan, kehidupan mereka adalah kehidupan yang penuh dengan pengharapan.