Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.
Hubungan kami sebagai suami istri sudah putus sama-sekali, dan saya sangat shock. Apa yang dia lakukan betul-betul telah membuat luka yang sangat dalam dan akan saya bawa sampai mati. Lima bulan yang lalu, saya masih mempunyai pengharapan karena dia masih tinggal serumah dengan saya dan anak-anak, tetapi sekarang dia benar-benar sudah meninggalkan kami dan secara resmi sudah menceraikan saya dan menikahi perempuan lain yang sudah melahirkan seorang anak baginya.
Kemarin suami SMS dan mengatakan akan mengundang anak-anak kami seminggu sekali kerumahnya. Saya marah sekali, dan SMS tidak saya jawab. Tega-teganya dia masih mau melukai saya lagi. Sekarang saya ingin bertanya, mestinya sikap kristiani yang terbaik itu bagaimana sih? Hidup ini seringkali menghadirkan realita tidak fair yang melukai hati. Memang alasan dari setiap kasus berbeda, sehingga sikap dan respon secara kristianipunjuga berbeda-beda. Meskipun inti dari semua respon seharusnya pengampunan, tetapi manifestasi, alasan dan tujuan dari pengampunan dalam setiap kasus berbeda. Sebagai contoh:
I. Hubungan suami-istri yang sebelumnya memang sudah buruk dan saling melukai.
Banyak kasus perceraian yang terjadi karena masing-masing, atau salah satu pihak sudah menimbun ketidakpuasan, kemarahan, dan perasaan tertekan selama bertahun-tahun. Suami-istri tersebut sudah biasa bertengkar dan saling melukai hati masing-masing. Sebabnya bisa apa saja, meskipun intinya adalah kebutuhan primer yang tidak terpenuhi (mis: seks, kebutuhan emosi seperti penerimaan/acceptance, rasa hormat/respect, teman bicara/friend to talk with, dsb). Kebutuhan yang tak terpenuhi tersebutmenjadi faktor pencetus/precipitating factors yang menstimulir kelemahan-kelemahan kepribadian masing-masing. Sebagai contoh: (a) Bagi yang terbiasa mengisi kekosongan jiwa dengan seks (sebagai faktor pengganti), Eugene Kennedy dalam "Sexual Counseling," menemukan bahwa ketidakpuasan dalam bentuk apapun juga akan dilampiaskan dalam bentuk penghianatan dalam seks. Jadi, meskipun istri sudah memenuhi kewajibannya dengan baik dalam seksualitas, tetap si suami mencari tambahan pemuasan seks dengan perempuan lain. (b) Individu yang terbiasa memainkan peran/role "orang tua," dalam transaksi komunikasi dengan siapa saja, akan dirasakan dominan dan controlling. Tidak heran jikalau pasangan akan merasa tertekan dan kehilangan hak dan kebebasannya pada saat menikah dengan individu seperti ini. (c) Bagi yang terbiasa hidupnya tergantung pelayanan orang lain, ia akan merasa tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan. Sulit baginya untuk berinisiatif menciptakan suasana yang membahagiakan pasangannya. la terus-menerus akan menuntut pasangannya membahagiakan dirinya, sehingga "sedikit kekurangan dari pelayanan pasangannya" saja akan memberikan alasan yang kuat baginya untuk marah, menghukum, dan melukai pasangannya.
Kebutuhan primer yang tidak terpenuhi selalu menghasilkan kegelisahan, dan hidup dengan ketidakpuasan selalu menjadi pemicu utama pertengkaran. Celakanya, pertengkaran dengan kebiasaan saling melukai ini dalam kebanyakan pasangan, tak pernah diselesaikan. Sehingga makin lama kondisi hubungan dan komunikasi menjadi makin buruk, dan masing-masing menyadari betapa pernikahan mereka tidak ada gunanya lagi. Nah, kasus perceraian dari pasangan dengan kondisi seperti ini sulit sekali diperbaiki. Keduanya menyadari betapa hubungan sudah rusak, sehingga harapan untuk rekonsiliasipun dirasakan "tidak mempunyai dasar."
Meskipun demikian, kalau salah satu dari mereka datang mencari kita untuk konseling, sebagai konselor, kita harus menyadari bahwa "kedatangannya adalah bukti bahwa Tuhan masih memberikan harapan.'''' Disini peran teologi Kristen yang benar itu penting sekali, karena harapan yang Tuhan sediakan, tak selalu berarti "rekonsiliasi." Harapan yang sejati, adalah pertobatan dan kehidupan baru yang diperkenan Tuhan. Itulah sebabnya fokus konseling untuk individu seperti ini tidak boleh "fenomenological" sesuai dengan keinginan klien, tetapi "noumenological" karena yang terutama adalah, si klien itu sendiri yang harus diperbaharui terlebih dahulu. Dalam konteks itulah, pengampunan/forgiveness hadir, dan itu mulai dengan membuka diri menerima "pengampunan" dari Tuhan dalam kesadaran dan pengertian yang utuh sehingga semua konflik batin (konflik batin = bagian-bagian inner-self yang tidak saling mengampuni) dapat diselesaikan. Dengan awal yang seperti inilah, klien akan mempunyai perspektif dan sikap yang baru dalam memahami hidup dan kondisi pernikahannya.
Memang tidak ada janji bahwa rekonsiliasi akan terjadi, tetapi di tengah realita campur tangan Tuhan yang ajaib itu, tidak ada hal yang mustahil. Benar-benar rekonsiliasi bisa dialami oleh pasangan suami-istri dengan kondisi yang separah ini.
II. Hubungan suami-istri yang selama ini cukup baik, tetapi salah satunya jatuh dalam pencobaan.
Cukup banyak suami-istri Kristen yang memulai dan dapat membangun kehidupan pernikahan dengan baik, artinya tak ada masalah yang serius, tetapi realita hidup seringkali menghadirkan kondisi yang memaksakan terjadinya perubahan yang tak terhindarkan. Kehamilan, kelahiran anak, perubahan dalam tuntutan dan kondisi pekerjaan, dsb seringkali memaksa sistim yang selama ini cukup kondusif menjadi berubah. Suami-istri yang semula mempunyai banyak waktu kebersamaan untuk membangun intimasi, sekarang terpaksa mempunyai dunianya sendiri-sendiri. Mungkin mereka masih ke gereja sama-sama dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan rohani, tetapi "kegairahan hubungan" semakin lama semakin mengecil. Nah, di tengah kondisi "kehilangan makna ikatan pernikahan" ini seringkali godaan kehadiran orang ketiga muncul. Mungkin mula-mula hanyalah sebagai teman ngobrol, tetapi pemenuhan kebutuhan yang selama ini minimal sekarang terbuka untuk mendapatkan pemenuhannya, dan "kegairahan hubungan laki-laki dan perempuan," hidup lagi dengan efeknya yang negatif yaitu semakin melemahnya hubungan dengan istrinya sendiri.
Perselingkuhan dalam kondisi seperti ini biasanya menghasilkan luka-luka batin yang serius. Perasaan dikhianati, dicampakkan dan tidak berharga akan muncul. Meskipun demikian, dalam kasus seperti ini pengampunan dan rekonsiliasi lebih terbuka, karena selama ini mereka sebenarnya "sudah berhasil" menanamkan fondasi pernikahan dengan berbagai pengalaman "indah" yang membekas. Oleh karena itu kalau hati nurani dapat disentuh, akan hidup kembali. Memori-memori yang indah akan mempunyai kekuatan untuk dihidupkan lagi.
Dalam kondisi seperti ini, pengampunan benar-benar mempunyai dampak yang langsung dapat dirasakan. Pengampunan yang sejati mulai dengan pemahaman dan kesadaran diri/understanding and self-awareness bahwa ia ikut andil mencipta kondisi yang buruk dan mereka berdua menjadi korban dari sistim. Barulah kemudian diikuti manifestasi pengampunan yang kedua yaitu "saya bersedia memberikan kesempatan lagi." Setelah itu wujud pengampunan yang ketiga harus dimunculkan yaitu, "memahami natur dari dosa (seksualitas), melumpuhkan sengatnya dan membangun kembali pernikahan mereka dengan menghidupkan kembali unsur-unsur yang baik," yang dulu pernah menyatukan hati mereka. Mungkin kasus di atas berada di antara kondisi pertama dan kedua. Keluhan kemarahan belum tentu merupakan manifestasi yang fatalistik, karena sikap mendua/ambivalence (antara suka dan jengkel, antara cinta dan benci) ada dalam diri masing-masing. Bahkan mereka berdua masih mengharapkan untuk melihat "hal yang baik" dalam diri pasangannya. Kemungkinan, hubungan yang parah ini adalah akibat dari sistim yang semakin lama semakin memburuk dan bukan oleh karena ada alasan-alasan prinsipiel yang memang tak dapat ditolerir.
Nah dalam konteks ini, kunci utamanya juga pengampunan, dan itu harus distimulir supaya hubungan mereka "patut dipertimbangkan untuk diperjuangkan lagi." Pengampunan dapat mulai dengan kerelaan untuk berpikir secara objektif "apakah yang dikehendaki Tuhan, dan apakah selama ini dia happy menikah dengan saya, dan mengapa demikian?” Kemudian tahap pengampunan kedua yang mengikuti yaitu " empathy/bisa merasakan" dengan apa yang dirasakan oleh pasangan selama ini. Lain pengampunan tahap ketiga dapat dimanifestasikan dalam bentuk "saya rela melupakan, tidak memasalahkan lagi dan fokus pada upaya memidai dengan lembaran yang baru"
Jadi, menghadapi kasus yang seolah-olah sudah tak ada harapan, seperti diatas, konselor harus bisa menangkap "spirit yang sedang terjadi." Hasilnya adalah, pengampunan dan rekonsiliasi adalah hal yang sangat mungkin terjadi.