Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.
Empati (empathy) adalah sikap positif konselor terhadap konsele, yang diekspresikan melalui kesediaannya untuk menempatkan diri pada tempat konsele, merasakan apa yang dirasakan konsele, dan dengan pengertian konsele. Suatu sikap yang Carl Rogers sebut sebagai,
To perceive the internal frame of reference of another with accuracy, and with the emotional components and meanings which pertain thereto, as if one were the other person, but without ever losing trie "as if condition / melihat realita dengan cara, sudut pAndang, pengertian dan pengalaman emosional pribadi dari konsele tanpa dirinya sendih lebur didalamnya (Meador and Rogers, "Client-Centered Therapy," ad. Raymon Corsini, "Current Psychotherapies", Itasca, III., Peacock Pub. Inc, 1973, p. 137)
Tanpa seorang dapat berempati tak mungkin dia dapat benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi dalam diri konselenya. Masalah-masalah yang dikeluhkan konsele sebenarnya hanyalah manifestasi dari apa yang terjadi dalam kehidupan internalnya. Dua penderita kanker lever akan memanifestasikan keluhan dan persoalan yang berbeda. Yang pertama mungkin ketakutan, putus asa, kemudian ia marah, mempersalahkan Tuhan, dan depressi. Orang yang kedua, memberi reaksi yang ditengah ketakutannya ia terus berjuang, tidak putus asa, dan belajar menemukan maksud baik dari rencana Tuhan yang mengijinkan dirinya sakit. Sehingga dalam kesakitannya ia malah semakin menjadi berkat bagi sesamanya. Jadi masalah sebenarnya bukan penyakitnya.
Kanker hanyalah kondisi dan konteks hidup yang memang tak terhindarkan. Masalah yang sesungguhnya, adalah bagaimana individu tersebut bereaksi terhadap realita yang dihadapi. Nah, disitulah perlunya konselor mempunyai kemampuan berempati. Tanpa empati tak mungkin konselor dapat memahami apa yang menjadi masalah sebenarnya, yang sedang dialami oleh konselenya. Jadi dengan empati, konselor memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan internal konselenya. Untuk memperjelas pembicaraan ini, coba perhatikan kasus dibawah ini.
A seorang usahawan yang pernah sukses, tetapi kemudian bangkrut karena ulah B, istnnya. Sejak anak mereka yang terkecil masuk sekolah, B ingin sekali bekerja dan mempunyai penghasilannya sendiri. A tidak keberatan meskipun ia ragu-ragu kalau istnnya dapat mengelola beberapa pusat penyalur tenaga kerja (TKI) keluar negeh. Bulan-bulan pertama cukup baik, tetapi dengan kemajuan usaha tersebut, B berani meminjam uang dari beberapa orang untuk memperbesar usahanya. Beberapa kontrak sudah ditAnda-tangani dengan rencana mengirim hbuan tenaga kerja ke berbagai negara. Ternyata keadaan berubah. Apa yang sudah ditAnda-tangani tak dapat dilaksanakan. Keadaan politik, dan ekonomi goncang sehingga B terbebani dengan bunga berbunga yang terus melambung tinggi. la dikejar-kejar penagih utang. Celakanya ditengah kondisi tersebut, B memilih untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Beberapa cek kosong ia buat dan terus menerus ia berbohong.
Pada suatu sore, A membawa B datang kepada Anda untuk konseling. Pembicaraan tersebut lebih banyak dimonopoli A. Dengan alasan-alasan yang sangat rasionil, A mengatakan bahwa dirinya tidak kuat lagi untuk menjadi suami B. la sudah kehilangan rumah, mobil, dan sebagian besar uangnya untuk membayar hutang-hutang B. la berharap B dapat menunjukkan itikat baiknya dengan menghentikan kebiasaan yang tidak baik tsb. Ternyata B kembali mengulang kebiasaannya dengan menjual perhiasan teman baiknya, memakai uang hasil penjualan tsb, dan mengaku bahwa perhiasan tsb hilang.
Untuk apa yang diceriterakan oleh suaminya, B tidak menyangkal. Dia hanya menangis, berjanji tak akan mengulang lagi perbuatannya.
Apa yang Anda pikirkan sebagai konselor? Apa artinya berempati dalam konteks konseling ini?
1. Berempati artinya menempatkan diri, merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh A maupun oleh B. Mungkin A merasa kecewa, marah, dan tak berdaya oleh karena terjebak dalam situasi yang rumit tsb. Mau cerai juga tidak mungkin, karena ia seorang Kristen. Mau menghukum B lebih (dari sikap dan kata-kata kemarahan) juga rupanya tidak pantas dilakukan olehnya. Mau memaafkan dan mengampunipun ia takut tidak mendidik dan akan dikecewakan lagi. Bahkan ingin mengasihi B pun rasanya sudah sulit sekali. Rupanya A terjebak dalam pelbagai sikap tidak menentu, sehingga kemungkinan besar A merasa capai mental, pesimis, dan depressive. Ia melihat realita persoalannya sebagai hal yang "tak banyak yang dapat diharapkan lagi." Mungkin dalam hati ia menyesali pernikahannya. la membawa B ke konseling hanya dengan harapan mendapatkan jaminan pemenuhan janji pertobatan B saja. Mungkin tidak lebih dari itu, karena A tidak merasa ikut andil dalam kesalahan. Oleh sebab itu, mungkin A tidak memikirkan kemungkinan kalau pernikahannya dapat kembali harmonis dan dapat dinikmati seperti dulu lagi. Pernikahan yang ideal dengan B tidak lagi menjadi fantasinya.
Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang kira-kira dirasakan oleh konsele, Anda sebagai konselor tidak terjebak dalam salah mengerti sikap dan kata-kata konsele. Misalnya, A mengatakan dengan suara lemah, "saya tak akan menceraikan dia, tetapi terus terang saja saya tidak kuat ..." Sebagai konselor, Anda memahami ambivalensinya ( kata "cerai" dan "tidak kuat" kemungkinan hanyalah manifestasi perasaan putus asa saja, dan tidak mempunyai makna yang kuat sesuai dengan arti kata tsb), dan sikap ini menjadi sikap dengan spirit yang tidak tepat sebagai orang Kristen. Sikap ini akan memperkuat apriorinya bahwa "yang bersalah bukan saya, dan saya tidak punya andil apa-apa dalam masalah istri saya." Sehingga peran dan tanggung jawab untuk perbaikan kehidupan pernikahannya melemah bahkan bisa hilang sama sama sekali. Yang ada semata-mata hanyalah keinginan untuk bebas dari masalah. A makin menjadi manusia yang egosentristik, dan ia harus diingatkan bahkan kalau perlu dikonfrontir dengan kebenaran Firman. Empati tidak menutup terjadinya konfrontasi tersebut asalkan itu dilakukan diluar spirit apriori dan judgmental / sekedar menghakimi.
Bagaimana dengan empati Anda terhadap B? prinsipnya sama! Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh B, Anda sebagai konselor akan menangkap apa yang terjadi dalam kehidupan "internal" B. Mungkin Anda mulai merasakan kekecewaan B terhadap dirinya sendiri yang berulang kali gagal untuk hidup dalam prinsip kebenaran yang ia ketahui. Mungkin pula B sama sekali tidak menyesal. Kalau ia menangis dan berjanji, itu semata-mata hanya untuk menghindarkan diri dari "hukuman suaminya”. Atau B menyesal tetapi ia adalah suatu tipe pribadi yang "tak tahan" berada ditengah kondisi yang menjepit ( sehingga ia cenderung jatuh pada kesalahan yang sama yaitu "menghalalkan segala cara." Untuk kesalahan tsb ia berharap orang memahami kondisinya dan dan dapat memaafkan dirinya.
Coba Anda sebagai konselor dengan tenang dan tidak teburu-buru berempati. Tangkap pola pikirnya dan kerja emosinya . Mana yang lebih penting bagi B: Apakah hidup dalam kebenaran atau terbebas dari masalah ? ; yang bagi B "masalah," atau masalahnya menurut B sendiri itu apa? Kemungkinan besar Anda akan menemukan banyak hal yang tidak konsisten. Misalnya ia mengakui kesalahan dan berjanji untuk hidup dalam prinsip kebenaran etika kristen. Namun dorongan dan keinginan untuk betul-betul menerapkan kebenaran tersebut tak ada. Oleh karena itu, nasehat yang diresponi B dengan pengakuan dan janji-janji, belum menyelesaikan apa-apa. Anda harus dapat menolong menciptakan dorongan untuk mempraktekkan kebenaran yang diakuinya. Dalam hal ini, empati penting sekali. Melalui empati, Anda mulai dapat berdialog dengan B dalam konteks dunia internalnya/ artinya, berdialoglah dengai dalam level kesadaran batinnya. Tanyakan kepadanya apa yang dirasakan olehnya dengan "mengakui prinsip kebenaran-kebenaran tsb?" Berikan tantangan pada hati nuraninya, dan tanyakan apa yang akan ia lakukan untuk menghidupkan suara hati nurani tsb, dan langkah-langkah apa yang akan ia ambil untuk merealisasikan kebenaran itu?
Kemungkinan orientasi pikiran B semata-mata hanya pada keinginan untuk tetap dapat mempunyai "kenikmatan-kenikmatan" memiliki uang yang banyak Untuk itu ia akan berupaya sekuat tenaga dan dengan segala cara mendapatkan simpati dari A dan dari Anda sebagai konselor, sehingga perubahan dan pertobatan "yang cepat" biasanya tak dapat dipercaya. Wajarnya, konseling untuk B akan memakan waktu yang lama.
2. Berempati artinya mengosongkan diri sendiri demi untuk kepentingan konsele. Alkitab memberi beberapa contoh betapa Tuhan Yesus berempati dengan orang-orang berdosa. Kepada perempuan berjinah yang diceriterakan dalam Yohanes 8, Tuhan berempati. Ia Hakim yang Agung, Allah Maha Suci yang mengosongk diri-Nya dan bersikap "seolah-olah" la tidak mempunyai wewenang untuk menghakimi, mengadili dan menghukum perempuan tersebut. la bahkan berkata, "Akupun tidak menghukum engkau" (ayat 11). Mengapa demikian? Jawabnya sederhana, yaitu melalui empati mengosongkan diri itulah individu yang helpless terjerat dosa dan akibatnya yang fatal (penghakiman massa) mendapatkan satu kesempatan lagi untuk mempunyai pengharapan. Ia memang hopeless/tak punya pengharapan dan hopelessnes-nya disadarinya saat itu. la berada di tengah keputusasaan dan ketakutan yang sangat, dan empatilah, yang akan memberikan pengharapan dan kesempatan hidup. Bahkan bukan sekedar hidup . . . tetapi "hidup yang baru." Oleh sebab itu, empati Tuhan tidak berakhir dengan tidak menghukum kamu," melainkan diteruskan dengan kalimat berita Injil yaitu : "pergi dan jangan berbuat dosa lagi.. ."(ayat 11).
Empati pada A dalam kasus diatas juga harus berupa pengosongan diri. Oleh sebab Itu, sekali lagi, meskipun tahu akan kelemahan A, sikap judgmental/ menghakimi harus ditiadakan. Coba rasakan lagi keputus-asaan A dan kekuatirannya bahwa pernikahannya dengan B sudah tak dapat diharapkan lagi. Katakan dengan spirit yang sama seperti Tuhan Yesus (Fil 2:5), tetapi dengan kalimat yang berbeda bahwa "aku tidak menghakimi kamu, aku dapat memahami mengapa kamu berfikir dan merasa demikian . . . tetapi jangan teruskan . . . jangan berfikir dengan fikiran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan . . ."
Begitu juga dengan B, empati berarti Anda sebagai konselor bersedia mengosongkan diri. Mungkin Anda tahu kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan B dalam kesadarannya. Bahkan mungkin Anda mulai kenal keunikan kepribadian B dengan cacat atau kelainannya yang membutuhkan therapi. Mungkin pula Anda telah belajar dari pengalaman bahwa tipe-tipe kepribadian seperti B hanya dapat disadarkan jikalau dikonfrontir dengan keras. Tetap Anda jangan sampai kehilangan empati pengosongan diri, karena siapa tahu, pengosongan diri Anda membuka jalan bagi proses pertobatan B yang sejati. Tanyakan kepada B, sikap apakah yang seharusnya orang berikan untuk kelemahan-kelemahan pribadi seperti yang dilakukannya? Kemudian demonstrasikan "dalam sikap" bahwa Anda berhak untuk bersikap seperti itu, tetapi Anda memilih untuk memberikan kesempatan pada B membuktikan pertobatannya. Anda tidak menyetop proses konseling oleh karena Anda mengerti "ketidak-berdayaan dan ketidak-siapannya" melawan natur dosanya. Inilah berempati dengan mengosongkan diri Anda sebagai konselor.
Nah, harapan saya, dengan kedua poin diatas Anda mulai belajar berempati seperti konselor dalam pelayanan konseling Anda. Tuhan memberkati.