Oleh: Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Haruskah saya menjadi orang yang istimewa supaya saya dicintai suami saya? Pertanyaan ini seringkali dilontarkan orang dalam berbagai bentuk keluhan yang berbeda-beda. Pada saat seseorang menghadapi suami yang berjinah, dan mengkhianati cintanya, seringkali perasaan tidak berharga, tertolak dapat muncul begitu saja. Ditengah kemarahan dan keputusasaan yang seperti ini banyak individu mencoba menemukan alasan kesalahan dan kekurangan pada dirinya sendiri. Pikiran mereka bergerak dalam kontrol defense mechanism rationalisasi, sehingga ia dapat berkata: "kalau suami saya menginginkan wanita lain, pasti sebabnya oleh karena saya tidak dapat memenuhi apa yang dibutuhkannya. Saya memang penuh kekurangan, sehingga wajarlah kalau saya dicampakkan. Apakah saya harus menjadi orang yang istimewa supaya perlakuan ini tidak terulang lagi? "
Hidup seringkali memang tidak adil, dan di tengah ketidakadilan seperti ini kasus-kasus seperti di bawah ini menjadi berita sehari-hari yang kita dengar.
Ana (bukan nama sesungguhnya) adalah seorang wanita cantik yang lahir dari keluarga Kristen yang sejak remaja sudah terlibat dengan kegiatan gerejani. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, Ana sudah terlatih memikul berbagai tanggung jawab. Tidak heran jikalau studinya berjalan dengan lancar dan saat ini karirnya terus menanjak.
Pada usia 26 tahun Ana berkenalan dengan seorang pria pendatang baru di gerejanya. Anton setahun lebih tua dari Ana, anak seorang kaya yang mewarisi perusahaan ayahnya yang sedang booming. Sayang Anton belum dibaptis karena kedua orang tuanya non-Kristen Anton mengaku kepada Ana bahwa dia pernah dua kali pacaran dan gagal.
Melihat tanda-tanda yang baik, Ana yakin Anton adalah jodoh yang Tuhan sediakan baginya. Dua tahun kemudian mereka menikah dan diberkati di gereja. Mereka memasuki kehidupan pernikahan dengan sangat baik. Anton mulai mau ikut paduan suara bersama Ana dan katekisasi untuk menerima baptisan. Sayang sekali katekisasi belum selesai, Anton terpaksa seringkali keluar Jawa mengurusi tambang batubara yang baru dibeli ayahnya. Nah perubahan mulai terjadi. Bulan kedua Anton sudah jarang menelepon kerumah. Meskipun setiap bulan ia pulang untuk tiga hari dirumah, ia kelihatan ogah-ogahan dan gelisah. Ternyata Anton punya simpanan dan dari pengakuannya sendiri, Anton memang sering ke tempat pelacuran sejak muda.
Hubungan dengan Ana memburuk. Ditengah pertengkaran Anton mengatakan bosan dengan Ana dan merasa keliru sudah menikah dengan dia. Memang dia tidak akan menceraikan Ana, tetapi apa artinya bagi Ana jikalau dia dinilai dan diperlakukan seperti itu?
Sebagai teman, Ana mencari anda untuk konseling. Untuk itulah beberapa tips dibawah ini dapat anda pertimbangkan.
1. Hidup manusia memang kompleks, jangan buru-buru membela Ana dan meminta dia untuk memahami kelemahan suaminya. Fokuslah pada Ana karena klien anda adalah Ana. Memang konselor harus memiliki prinsip-prinsip kebenaran yang akan menjadi tolok ukur untuk menilai dan mengarahkan percakapan konselingnya. Pihak lain kita harus sadar bahwa simplifikasi masalah selalu penuh resiko. Pertama, dengan simplifikasi kita bisa kehilangan peran sebagai konselor dan menggantikannya dengan peran orang tua yang protektif dan sedang membela anak kita. Akibatnya kita terjerat dalam keinginan untuk menghukum yang salah dan kita memainkan counter transference terhadap Ana yang tanpa sengaja sudah mentransfer kebutuhan akan orang tua pelindung kepada konselor. Kedua, kita lupa bahwa apapun masalah yang dialami dan diceriterakan, semuanya itu hanyalah fenomena yang ada. Isi ceritera Ana bukanlah masalah yang utama. Realita hidup (dalam hal ini: suami yang selingkuh) seringkali merupakan hal yang tak terhindarkan yang berfungsi sebagai faktor pencetus masalah (precipitating factor) saja. Masalah yang sesungguhnya adalah "bagaimana Ana meresponi realita tersebut." Apakah Ana melihat, menafsir dan bereaksi secara sehat dan dewasa, atau Ana bereaksi instinctual, emotional, naif dan kekanak-kanakan?
Biasanya, masalah akan menjadi semakin kompleks jikalau si klien itu sendiri bermasalah. Coba bayangkan jikalau klien adalah individu yang matang dan bijaksana, yang memang sejak mula sudah mampu membina komunikasi dialogis yang efektif dengan suaminya. Kemungkinan menjadi sangat kecil, kalau masalah itu akan timbul. Anton kemungkinan tidak mau mengambil pekerjaan diluar Jawa meninggalkan keluarganya dan hanya bertemu sebulan sekali. Rasanya tidak mungkin perasaan bosan terhadap Ana akan dibiarkan hidup, dan Ana sendiri tidak perlu menuntut diri menjadi orang yang istimewa dihadapan Anton. Bahkan hampir mustahil Anton diluar pengetahuan istrinya berani berselingkuh dengan wanita lain. Sayang sekali itu bukan realita yang ada. Hubungan yang dewasa dan saling mengasihi belum mereka miliki. Akibatnya kelemahan lama dari Anton muncul lagi dan masalah demi masalah otomatis hadir dalam kehidupan mereka. Jadi tidak seharusnya konselor terjerat dan memfokuskan dirinya pada fenomena masalah yang dikeluhkan Ana. Fokus perhatian konselor harus pada diri klien yaitu Ana itu sendiri. Siapakah dia dan bagaimana pola pikir dan kerja reaksi emosinya. Bagaimana dia menafsirkan masalah yang dihadapinya dan mengapa demikian? Apakah reaksi dan sikapnya itu efektif ?
2. Hidup pernikahan selalu membentuk sistem, sebab itu jangan berpikir dialektis seolah-olah jikalau Ana dapat lebih menyenangkan Anton, semua masalah dapat diselesaikan dengan baik.
Memang secara praktis Anton bisa mengemukakan berbagai kekecewaan oleh karena "kekurangankekurangan" yang dirasakan ada pada Ana. Konselor harus betul-betul memahami bahwa natur dari kebutuhan manusia yang ... pada dirinya sendiri tak pernah dapat terpenuhi secara tuntas (apalagi kalau kepribadiannya bermasalah). Kalau manusia mau menuruti segala kebutuhan yang muncul secara instinctual maka ia tidak akan pernah dipuaskan. Ia akan selalu menemukan alasan bahwa istrinya masih kurang ini dan kurang itu. Oleh sebab itu, ditengah pemenuhan kewajiban yang "wajar" sebagai seorang istri (bersih, rapi, dan rela melayani dan memikul tanggung jawab domestik), Ana tak perlu menjadi wanita yang istimewa demi supaya dapat menjadi istri yang baik bagi Anton. Oleh sebab itu, setelah memahami poin I, yang terpenting bagi Ana sebenarnya adalah pengembangan rohaninya sendiri.
Kasus Ana sebenarnya mirip seperti kasus wanita yang dikatakan oleh Petrus dalam suratnya (I Pet. 3:1-5). Seperti wanita itu, Ana menikah dengan individu yang belum mengenal Kristus secara pribadi, bahkan yang sudah mengembangkan dosa berani melawan kebenaran Allah. Nah untuk kasus seperti ini, rasul Petrus mengingatkan wanita tersebut untuk menjadi istri yang saleh yang menghiasi dirinya dengan perhiasan batiniah yang berasal darn roh lemah lembut dan tenteram. Begitu juga dengan Ana. Karena hanya dengan itulah, kehadiran Kristus akan nyata dalam diri Ana, dan Anton terpaksa harus berhadapan muka dengan Kristus sendiri. Hasilnya 100% terserah pada tanggung-jawab Anton sendiri. Anton dapat menolak kebenaran Allah yang hadir didepannya, dan terus berkanjang dalam dosa-dosanya, atau ia bisa juga sebaliknya yaitu mengalami pertobatan yang sejati.
3. Tak perlu Ana menjadi istimewa dihadapan Anton, tetapi ia harus menghargai "hak istimewa" yang Tuhan sudah berikan padanya.
Pernikahan, apapun juga alasan dan kelemahan persiapannya, adalah realita yang diijinkan Tuhan. Tidak heran jikalau untuk semua pernikahan, Tuhan berfirman "apa yang sudah disatukan Allah..." (Mat. 19:6). Dalam konteks pemahaman kasih setia Allah inilah, setiap anak Tuhan seharusnya menyadari dan mensyukuri "hak istimewa" yang Tuhan sudah berikan padanya. Ditengah kelemahan anak-anak Tuhan, Paulus mengatakan, "bagaimana engkau tahu kalau engkau tidak dipanggil untuk menyelamatkan pasanganmu?" (I Kor. 7:16). Inilah hak istimewa yang Tuhan sediakan bagi setiap anakNya. Sebagai konselor, anda harus mengingatkan Ana untuk "work out/mengerjakan" anugerah ini yaitu dengan menyadari dan memainkan peran/role yang baru dihadapan suaminya. Bukan lagi peran awam yang cuma hidup menyesuaikan diri atau menghadirkan sistem keadilan/fairness dari apa yang seharusnya bagi suami-istri, tetapi peran yang baru yaitu peran sebagai hamba Tuhan dengan misi Ilahi untuk menolong suaminya. Ana harus dapat mempunyai persepsi yang baru terhadap suaminya yang malang karena tak berdaya dalam jerat dosa-dosanya. Ana harus mulai mengembangkan perasaan iba dan belas kasihan seperti Kristus melihat orang-orang berdosa (Fil. 2:5). Itulah hak istimewa yang Tuhan sudah anugerahkan kepadanya.
Tuhan memberkati mereka yang percaya bahwa jerih payah dihadapan Tuhan tidak sia-sia (I Kor. 15:58).