Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Kematian adalah bagian integral dari kehidupan. Martin Heidegger dengan tepat mangatakan bahwa "When a baby was born, he or she is old enough to die (pada saat seorang bayi dilahirkan, pada saat itu ia cukup tua untuk mati)". Artinya, siapa saja, termasuk bayi yang baru dilahirkan, sedang menghadapi realita kematian yang dapat datang setiap saat. Setiap orang tua maupun muda, semua sedang berjalan menuju ke ujung jalan tersebut. Tak seorangpun yang dapat menghindar dari kematian. Bahkan seringkali kehadirannya sangat diluar dugaan, mendadak, tidak memberikan tanda-tanda maupun kesempatan untuk mempersiapkan diri, baik bagi individu yang bersangkutan apa lagi bagi orang-orang yang mengasihinya. Akibatnya, kepedihan dan dukacita yang begitu mendalam seringkali menghinggapi orang-orang tersebut. Sebagai contoh, coba perhatikan kasus di bawah ini.
Ibu A sepanjang sore masih sibuk menghias gedung untuk pesta pernikahan seorang anggota jemaat dari gerejanya. Wajahnya ceria, karena kali ini benar-benar mengagumkan hasilnya. Semua orang memuji-muji dia. Wah hatinya berbunga-bunga, dan ia tak dapat menunggu tibanya hari esok dimana ribuan undangan, termasuk beberapa orang VVIP akan hadir dalam pesta itu.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.30 malam dan pegawai-pegawainya mulai pamitan satu persatu, ibu A mulai merasa gelisah. Tidak biasa suaminya menjemput terlambat, apalagi sampai lebih dari satu jam. Ia coba menghubungi handphone suaminya, tetapi yang diterimanya terus nada panggil saja, tanpa ada yang menjawab. Mulai dari sekedar gelisah, ibu A menjadi kuatir dan cemas. Ia coba menghubungi semua teman dan famili yang biasanya tahu keberadaan suaminya. Tiba-tiba pukul 22.15 handphonenya berdering dan berita mengejutkan ia terima dari pendetanya yang baru mendapat laporan dari seorang polisi bahwa suaminya kecelakaan dan sudah meninggal dunia. Jenazahnya berada di rumah sakit. Dunia serasa berputar dan tiba-tiba gelap. Ibu A baru terbangun lagi dalam mobil yang sedang menuju rumah sakit tersebut. Perasaannya tidak keruan, antara bingung, takut, ingin menjerit, putus asa, marah, memikirkan kemungkinan-kemugkinan lain dan berharap belas kasihan Allah, campur aduk. Realita kematian dari orang yang sangat dikasihinya sudah terjadi. Tanpa pesan, tanpa tanda-tanda, dan orang yang sangat dikasihi tersebut sudah meninggalkan dirinya untuk selama-selamanya.
Apa yang dapat dilakukan untuk ibu A yang malang ini? Prinsip-prinsip konseling apa yang dapat dipakai? Untuk menjawab itu, beberapa prinsip konseling dibawah ini dapat dipertimbangkan, yaitu:
I. Memahami secara umum apa yang dialami oleh ibu A
Pengalaman seperti yang dialami oleh ibu A biasanya menghasilkan reaksi kejiwaan yang muncul secara bertahap. Mula-mula shock yang segera diikuti dengan numbness/kehilangan perasaan oleh karena munculnya 1001 macam pikiran yang timbul tenggelam tanpa bisa dikonsepkan, sehingga perasaan dan pikiran tersebut tidak menyatu. Hadirnya begitu banyak orang pada berbagai acara kebaktian penghiburan dan segala urusan pemakaman, semakin memperbesar gap antara perasaan dan fikirannya. Dalam fase ini, perasaan ibu A bisa berubah-ubah dengan cepat, kadang-kadang merasa sedih, kadang- kadang ia tidak merasa apa-apa.
Kondisi seperti ini akan terus berlanjut sampai suaminya dimakamkan dan semua orang tidak bersama dia lagi. Saat-saat itulah grieving period/periode kesedihan yang sesungguhnya dialaminya. Tubuh akan melepaskan cairan kimiawi epinephrine dari kelenjar adreanal yang menenggelamkan dirinya dalam kesedihan yang mendalam. Sampai tiba waktunya produksi hormonal tersebut mencapai titik maksimalnya mungkin dua/tiga minggu dan cairan hormonal norepinephrine dilepaskan untuk mengembalikan individu tersebut kepada posisi dapat memikirkan tanggung jawab kehidupan secara utuh lagi. Inilah realita hidup manusia yang dilengkapi dengan perlengkapan menyembuhkan diri sendiri. Sehingga setiap individu yang berjiwa sehat dengan sendirinya dapat melewati periode kesedihan dengan baik dan beradaptasi dengan kehidupannya kembali. Apabila periode tidak kunjung berakhir adalah tanda bahwa individu yang bersangkutan membutuhkan pertolongan seorang psikiater.
II. Memahami secara khusus apa yang dialami oleh ibu A
Pada masa shock, hilangnya perasaan dan masa-masa sedih, perasaan dan pikiran individu yang bersangkutan bisa apa saja, termasuk marah, kecewa, putus asa, takut, kuatir, dan sebagainya. Pada saat- saat seperti ini, ia bisa mengajukan berbagai macam pertanyaan, dari yang acceptable/dapat diterima sampai kepada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa diterima yang bertentangan dengan kebenaran yang diimani. Ibu A bisa merasakan sangat kecewa dengan Tuhan bahkan marah kepadaNya. Ia bisa merasakan Tuhan sangat kejam dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan rhetorika yang ia jawab sendiri. Saat itu ia berputar-putar dalam jebakan perasaan yang ia tidak mampu atasi. Sampai tiba waktunya dimana periode kesedihan tersebut berakhir.
Sayang sekali tidak setiap individu dapat menyelesaikan periode ini dengan baik. Konselor perlu mengenali apa yang secara khusus dialami oleh ibu A. Apakah ia dapat menyelesaikan masa-masa sedih dengan baik, sehingga ia tidak memerlukan konseling sama sekali. Mungkin juga ia ternyata terjebak dalam natur dosanya, yaitu secara biologis sudah dapat menyelesaikan masa-masa kesedihan tetapi secara rohani ia lumpuh sehingga ia terus-menerus masih mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang salah yang justru melemahkan imannya. Itulah yang Paulus katakan dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika, yaitu "jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan" (I Tes 4:13). Karena dukacita yang benar adalah "godly sorrow" (dukacita menurut kehendak Allah) yang hasilnya pertobatan dan kehidupan yang diperbaharui yang memuliakan Allah (II Kor 7:10).
Konselor harus dapat mengenali apa yang terjadi dalam kehidupan ibu A setelah masa kesedihan berakhir. Konselor harus berani mengkonfrontir dan membimbing ibu A jikalau ia terjebak dalam natur dosanya dengan terus melayani perasaan dan pengalaman eksistensial yang semata-mata subjektif memuaskan keinginan nalurinya sendiri. Ibu A harus belajar mengenakan perasaan dan fikiran Kristus (Filipi 2:5).
III. Menyingkapkan kebenaran yang memerdekakan dari dosa (Yoh 8:32)
Memahami pergumulan dari klien melalui listening, acceptance, empathy, dan understanding merupakan hal yang sangat penting, tetapi ini belum cukup, karena pemahaman tanpa kebenaran Allah yang memerdekakan justru seringkali menjadi pemicu berkembangnya dosa dalam hidup klien tersebut. Pemahaman harus disertai dengan pengenalan akan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan, yang dalam konteks kasus diatas antara lain:
Hubungan suami-istri hanya ada dalam kehidupan di bumi dan kematian mengakhiri hubungan tersebut. Jawaban Tuhan atas pertanyaan orang-orang Saduki (Matius 22:29-30) menyingkapkan realita bahwa didalam kerajaan surga tidak ada laki-laki maupun perempuan. Setiap orang percaya yang mati akan dibangkitkan dengan tubuh yang baru seperti malaikat dimana tubuh darah daging tidak ikut mewarisi kekekalan (I Kor 15:50). Pengenalan didalam kerajaan surga bukanlah pengenalan otak dengan memorinya melainkan pengenalan rohani. Sehingga manusia tidak lagi membawa kenangan masa lampau baik yang positif maupun yang negatif dan tidak lagi membutuhkan ikatan-ikatan seperti suami- istri atau orang-tua dan anak. Kebahagiaan didalam kerajaan surga adalah kebahagiaan yang sempurna sehingga manusia tidak lagi membutuhkan kebahagiaan sementara yang penuh dengan cacat-cela seperti yang dialami dalam kehidupan dibumi ini.
Ibu A harus mengerti bahwa tubuh dan wajah suami yang dikenalnya tidak akan ada lagi didalam kerajaan surga. Tubuh dan wajah suaminya hanyalah wadah atau kostum, dan kepribadian suaminya hanyalah pola- pola kejiwaan dalam kehidupan yang dapat dipakai oleh rohnya untuk memanifestasikan dirinya. Si aku yang sejati bukanlah tubuh (dengan otak dan pola-pola neurons yang menentukan cara kerjanya) dan juga bukan jiwa atau kepribadian yang cuma merupakan manifestasi struktur kehidupannya. Si aku yang sejati adalah roh dari individu tersebut, dan roh itu kekal adanya karena mempunyai permulaan tetapi tidak mempunyai akhiran. Roh manusia tidak mengenal jenis kelamin dan tidak pernah menjadi tua, sehingga roh yang ada dalam tubuh yang masih belum berbentuk manusiapun sudah dapat berkomunikasi dengan Roh Allah dan diselamatkan (Mazm 139:16, Yer 1:5). Tubuh, wajah, dan kepribadian yang terakhir dari suami ibu A bukanlah identitasnya yang akan dibawa kedalam kekekalan. Bahkan tidak ada identitas pribadi dari manusia manapun, entah bayi yang mati dalam kandungan atau orang tua yang tubuhnya digerogoti penyakit, yang akan dibawa kedalam kekekalan, karena hanya roh manusia yang kekal/immortal adanya.
Jadi bagi ibu A, arti dari menanti saat untuk bertemu kembali dengan suami, bukanlah menanti untuk mengulang atau melanjutkan hubungan dalam ikatan suami-istri. Penantian adalah penantian orang percaya yang didalam iman ingin bersekutu dalam kesempurnaan kebahagiaan orang-orang percaya dihadapan hadiratNya. Oleh sebab itu, konseling adalah menyadarkan ibu A supaya dapat menanggalkan cara berfikir manusiawi dan mengenakan cara berfikir yang sesuai dengan iman kristen.