Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Ambivalen (mendua hati) sebenarnya merupakan gejala yang tak terhindarkan dalam setiap hubungan antar manusia. Tak pernah ada manusia yang 100% suka atau 100% tak suka pada sesamanya, siapapun dia. Walaupun ia sedang jatuh cinta, dan merasa tergila-gila, tetap "kalau ia sadar" ia akan mengakui bahwa ada hal-hal tertentu dari orang yang ia cintai yang sebenarnya tidak ia sukai.
Ambivalen adalah hal yang alami, meskipun keseriusan dampaknya tidak selalu sama, tergantung pada watak, kematangan pribadi, dan level perbandingan antara suka dan tidak suka dalam hubungan tersebut. Kalau rasa sukanya lebih besar, ia akan mengatakan bahwa ia menyukai orang tersebut. Sebaliknya kalau rasa tidak sukanya lebih besar, dan perbandingan dengan rasa sukanya sangat mencolok, ia mungkin akan membenci orang tersebut. Dan yang mengherankan ialah bahwa, rasa suka ataupun tidak suka ini tidak selalu mempunyai alasan yang masuk akal. Seorang bisa membenci ayahnya yang begitu baik hanya oleh karena kelemahan-kelemahan kecil yang telah dilakukan oleh sang ayah. Dan sebaliknya ia bisa mencintai ibunya yang wataknya buruk meskipun ia melihat banyak kesalahan yang telah dilakukan si ibu. Sebagai contoh, kita dapat perhatikan kasus di bawah ini.
Kasus: A adalah seorang pemuda Kristen, aktivis gereja, tampan, berbakat, dan sangat concern dengan hal-hal rohani. Ia suka mengikuti ceramah-ceramah rohani bahkan ikut sekolah Alkitab malam untuk memperlengkapi dirinya dalam pelayanan dan kesaksiannya. Berbicara dengan A sungguh menyenangkan karena pengetahuannya yang banyak dan luas. Meskipun demikian dengan jujur A mengeluh dan merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Ia heran karena ia secara cognitif (rasionil) tahu bahwa ayahnya baik dan mengasihi dia, tetapi tidak mengerti mengapa ia tidak pernah merasa dekat dengan dia. Bahkan setiap kali komunikasi dengan dia selalu berakhir dengan pertengkaran. Lain halnya antara hubungan A dengan ibunya. A tahu bahwa ibunya mempunyai watak dan kepribadian kurang baik. Heran, justru dengan ibunyalah A merasa dekat sekali.
Dalam percakapan, A memberi alasan mengapa ia tidak menyukai ayahnya. Ia mengatakan bahwa ayahnya seorang laki-laki pengecut yang setiap kali ada orang kampung ketuk-ketuk pintu minta sumbangan ia tak berani keluar menghadapinya sendiri. Ia selalu menyuruh istri atau anak-anaknya yang keluar. Dan bagi A sang ayah juga adalah seorang laki-laki tak bertanggung jawab oleh karena ia tak berani beresiko meminjam uang dari bank untuk membesarkan tokonya. A kecewa sekali toko yang dikelola ayahnya tak pernah maju.
Dua "alasan kecil" kelemahan ayah ini, meskipun riil, sebenarnya adalah alasan yang dicari-cari. Anehnya, kedua alasan tersebut, kalau (misalnya) ditemukan ada pada ibunya, ternyata tidak menjadi alasan kebencian A kepada ibunya. Jadi, kedua alasan tersebut adalah alasan yang khusus hanya menjadi alasan kebencian bagi A dalam hubungan dengan ayahnya. Memang ada alasan lain mengapa A tidak menyukai ayahnya dan lebih menyukai ibunya. Mungkin oleh karena sang ayah terlalu pendiam sehingga tak banyak mendekati dan berkomunikasi dengan dirinya. Sebaliknya ibunya, meskipun wataknya kurang baik, tetapi memanjakan dia, selalu memberi apa yang secara pribadi. Tidak heran kalau A merasa lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya.
A sangat sadar, dan rasionya mengatakan bahwa sikapnya tidak masuk akal. Ia bahkan ingat betapa setiap keluar kota, sang ayah tak pernah lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Tapi, heran, ia lebih suka berbicara dengan ibunya. Ia tidak mengerti mengapa justru ia begitu toleran dengan ibunya yang kasar, suka omong kotor, curang, pembohong, suka menjelek-jelekkan orang lain (gossips), agresif dominan, dan tidak menghargai ajaran Alkitab, mengambil alih seluruh tanggung-jawab kepemimpinan dalam keluarga.
Untuk menolong A, beberapa prinsip konseling di bawah ini mungkin dapat dipakai.
1. Memahami bahwa kasus A di atas sebenarnya adalah kasus kita semua. Warna dan intensitasnya mungkin berbeda-beda, tetapi hampir setiap pribadi terlibat dengan masalah ambivalency (sifat mendua) dalam hubungan dengan sesamanya. Selalu ada orang-orang (bisa orang yang begitu dekat dengan kita seperti ayah, ibu, anak, saudara sekandung, dsb) yang tanpa alasan jelas kita hindari oleh karena tidak kita sukai. Terhadap orang tersebut, dorongan untuk menghidupkan kebencian lebih besar daripada keinginan untuk mengembangkan keakraban. Meskipun kita tahu bahwa orang tersebut sebenarnya cukup baik. Kesalahannya sebenarnya tidak fatal, dan kelemahannya biasa saja, dan toh kita cenderung antipati dengannya. Sebaliknya, kepada orang-orang yang kita sukai, rasa tidak suka yang beralasan cenderung diminimir bahkan dilupakan.
Ahli-ahli ilmu jiwa umumnya percaya bahwa ambivalen adalah gejala/fenomena alam ketidak-sadaran (unconscious phenomena) di mana gejala transference (pemindahan perasaan) dan hidupnya sinful nature tak terhindari. Rasa suka dan tidak suka pada seseorang biasanya diatur oleh insting yang terbentuk sejak kecil. Sifatnya ambivalen sehingga menimbulkan masalah oleh karena seringkali individu objek perasaan tersebut pernah berpikir bahwa ia disukai. Tetapi kemudian ia begitu kecewa karena ternyata ia lebih banyak dibenci. Inilah yang disebut ambivalen. Entah mengapa dalam jiwa A telah berkembang insting tertentu di mana rasa tidak suka muncul setiap kali ia berhubungan dengan ayahnya. (Catatan: insting adalah inherited pattern of behavior or predisposition to behave in particular way/pola yang diwarisi seseorang yang membuat dirinya bertingkah- laku dalam bentuk tertentu).
Insting inilah yang telah menghambat hubungan pribadinya dengan sang ayah, dan yang telah menyebabkan A bertingkah-laku secara tidak masuk akal. Seolah-olah " common sense"nya mati. Seperti raja Lear dalam drama Shakespeare yang sampai hati membunuh Cordelia yang jujur dan berani menegakkan kebenaran sehingga menolak untuk ikut menyanjung-nyanjung ayahnya yang sudah gila hormat. Tetapi oleh karena itulah ia harus dibenci dan dibunuh. Hidup memang benar-benar tidak fair. Dan spirit ambivalen ini ada dalam jiwa setiap pribadi oleh karena memang merupakan bagian dari natur manusia yang berdosa.
2. Dengan understanding di atas, konselor dapat membebaskan diri dari spirit judgemental (menghakimi) sehingga ia dapat lebih peka mendengar (listening) apa yang A pikirkan tentang dirinya sendiri. Kalau konselor dapat listen (peka mendengar apa yang tak terucapkan) ia akan menemukan berbagai kemungkinan mengapa A begitu.
a. Mungkin, apa yang dikeluhkan hanyalah sekedar sharing (chatarsis) tanpa rasa bersalah dan tanpa keinginan untuk benar-benar memperbaharui hidupnya.
Penulis pernah mendapat keluhan dari seorang aktivis gereja yang setia dan ingin menegakkan kebenaran di gerejanya. Heran ia selalu dimusuhi oleh pendeta dan majelis karena dialah yang selalu menentang kalau ada hal-hal yang tidak beres (mis: menyuap untuk ijin pembangunan gedung gereja). Sikap pendeta mirip seperti A yang ambivalen. Rasa sukanya dimatikan, karena instingnya lebih kuat untuk membenci aktivitas tersebut. Dalam sharing bahkan dalam persekutuan doa seolah-olah pendeta berterima kasih untuk beberapa kebaikannya (untuk mendapat simpati seolah-olah ia orang baik yang tahu berterima kasih) tetapi realitanya di belakang pengetahuannya, ia bersekongkol dengan majelis-majelis gereja yang lain (yang tak pernah mengkritik) untuk memusuhi dia. Dalam rapat pembangunan ia dikeroyok, dihabisi. Pendeta tersebut tahu, perasaannya yang ambivalen dan sebenarnya tak cukup beralasan untuk membencinya, tetapi ia tak punya keinginan sama sekali untuk memperbaikinya. Yang diinginkannya hanyalah terbebas dari gangguan. Instingnya selalu bekerja negatif dan memberikan perasaan gelisah, tertekan, dan tidak aman setiap kali bertemu dengannya. Oleh sebab itu, kalau bisa ia akan menyingkirkannya. Ia selalu mengumpulkan data-data kesalahan- kesalahan dengan harapan suatu saat betul-betul akan menemukan kesalahan yang fatal sehingga ia mendapat dukungan banyak orang untuk menyingkirkan dan menggantikan posisinya.
b. Mungkin oleh karena lamanya waktu, sistem sudah terbentuk dan diterima oleh semua pihak, sehingga A tidak tahu apakah sistem masih dapat dan perlu diperbaiki.
Seringkali orang seperti A tidak menyadari kalau ia menyimpan kebencian terhadap ayahnya. Karena yang disadari seringkali hanya sebatas "tidak cocok sehingga sering konflik" dengan ayahnya. Sebaliknya, si ayah pun barangkali sudah menerima keadaan hubungan yang tidak harmonis tersebut. Sehingga hal menghidupkan dan mempermasalahkan apa yang selama ini sudah dapat diterima, merupakan beban tambahan yang seringkali bahkan tidak siap dipikul oleh individu yang bersangkutan. Sikap reluctant dan resistant yang tersembunyi mungkin menjadi hambatan utama dalam proses konseling ini.
c. Mungkin A sangat sadar dan sangat bersedia untuk memperbaiki dirinya tetapi sang ayah sudah resistant karena ia merasa selama ini ia lebih banyak dikecewakan dan dilukai.
Bahkan mungkin resistant tersebut terjadi oleh karena sikap ambivalen sang ayah terhadap istrinya. Dengan kemungkinan defence mechanism "Projection/ pemindahan blame" yang ia sangat sadari, dari kebencian terhadap istrinya kepada kebencian terhadap A anaknya.
Berbagai kemungkinan ada di belakang kasus A di atas, dan konselor terpanggil untuk peka terhadap realita bahwa setiap kasus unik pada dirinya.
3. Setelah (melalui listening) konselor memahami struktur pola kerja jiwa A sebagai alasan di belakang tingkah-lakunya, maka konselor dapat mengkonfrontir A dengan kebenaran firman Tuhan dan meminta A menentukan strategi penyelesaian persoalannya sendiri. Peran konselor hanyalah sebagai reflektor yang setiap kali menyadarkan A apakah strategi dan langkah-langkah yang diambil memang masuk akal dan sesuai dengan pertanggungjawaban dan kedewasaan imannya.
Misalnya: A berjanji untuk tidak akan marah lagi pada ayahnya. Untuk janji yang tidak masuk akal ini (karena sistem buruk yang sudah terbentuk begitu lama) konselor harus menolong A untuk menjadi lebih realistis. Sehingga A dapat menyusun strategi yang bertahap yang lebih masuk akal. Mungkin langkah demi langkah. Sehingga tekad yang baik tidak dicemari oleh kegagalan-kegagalan yang tidak perlu.
Sekali lagi ini hanyalah contoh sederhana untuk realita pelayanan konseling yang jauh lebih kompleks. Harapan penulis adalah supaya awam-awam yang terbeban untuk pelayanan konseling mulai dapat diperlengkapi dengan beberapa prinsip dasar yang dapat mereka aplikasikan.
Tuhan memberkati.