Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Pertanyaan 'apakah saya masih mencintainya?" bukanlah pertanyaan yang bodoh dari orang bodoh yang tidak mengenal dirinya. Pertanyaan ini juga bukan pertanyaan yang hanya ada dalam hati orang yang cintanya sudah hambar oleh karena berbagai kekecewaan yang dialaminya. Karena pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan eksistensi yang mungkin selalu hadir (meskipun tidak selalu disadari) dalam batin manusia.
Manusia adalah mahluk yang sudah jatuh dalam dosa. Dan manusia hidup di dunia yang juga sudah tercemari oleh dosa dalam setiap aspeknya. Apa yang manusia pikir dan rasakan, selalu membawa berbagai berita yang dirinya tidak betul-betul pahami. Seorang yang ingin mencintai dan dicintai tak selalu merasakan seperti yang ia mau meskipun pasangannya benar-benar mencintai dan rela dicintai. Ada saja, hal yang tidak sempurna baik dari pihak pasangannya maupun dari dalam dirinya sendiri, sehingga "perasaan mencintai" tidak selalu hadir dalam hidupnya. Apalagi pada saat mood sedang menurun oleh karena hubungan tidak lancar.
Apa gejala ini wajar, dan boleh dibiarkan begitu saja dan tidak perlu diwaspadai? Jawabnya, "tidak." Gejala ini, meskipun "wajar" tetapi juga merupakan gejala yang menyimpan benih-benih yang cukup berbahaya. Sebagai contoh, coba perhatikan kasus di bawah ini.
K adalah seorang wanita karier yang sudah menunjukkan suksesnya sejak ia merintis usaha sendiri.
Nah, kebetulan ia kemudian menikah dengan L seorang dokter gigi yang pendiam dan cenderung rendah diri. Tidak heran jikalau dengan segera pernikahan tersebut membentuk sistim dimana K memainkan peran "penentu" dalam rumah tangga tersebut, dan L yang pendiam, memang kemudian menjadi submissive. Meskipun demikian, dengan jujur L mengakui bahwa jiwanya tidak tertekan, bahkan dia merasa bahagia dalam pernikahan tersebut. "Di bawah pimpinan isterinya" ia merasakan kehidupan keluarga semuanya beres dan berjalan baik. Bahkan kebutuhan-kebutuhan pribadinyapun terpenuhi yaitu secara emosional K memanjakan L. Dan memang itu yang ia mau.
Lima tahun pernikahan mereka cukup happy. K dan L saling mencintai. Tetapi kemudian terjadi krisis ekonomi di Indonesia, dan usaha K mengalami kegoncangan besar. Pada saat-saat itu K sangat membutuhkan penolong dan teman berbicara yang pas, dan ia tiba-tiba mulai menyadari bahwa ia menikah dengan pribadi yang tidak patut dihargai. L suaminya cenderung pasif, tidak mampu menolong dan dirasakan masa bodoh dan tidak memahami pergumulan- pergumulannya.
Selama ini sistem sudah terbentuk, dan di dalam sistim tersebut K dan L memainkan peran saling mengasihi yang dapat dinikmati (sesuai dengan keunikan mereka). Namun sekarang, kehadiran unsur baru (yaitu kondisi usaha K yang goncang) sudah mengubah semuanya. K merasa bahwa peran lama (cara mengasihi L seperti yang sudah-sudah) tidak lagi memuaskan hatinya sendiri. Ia heran mengapa sekarang ia menuntut berperan dengan peran yang baru. Mengapa sikap L yang tidak berubah (masih mencintai dan rela dicintai, bahkan menghargai dia sampai rela submissive padanya) sekarang tidak dinikmati lagi. Apakah ia masih mencintai L?
Coba bayangkan jikalau K adalah sahabat anda, dan ia datang sharing dan meminta bantuan anda. Apakah yang akan anda lakukan atau katakan padanya?
Nah untuk itu beberapa kiat dibawah ini mungkin dapat anda pakai:
1. Dengarlah dengan telinga hati anda (genuine listening) dan coba rasakan apa yang ia rasakan dan coba tangkap bagaimana pola pikirnya. Kemudian refleksikan kepadanya, supaya ia sadar dan mulai melihat dirinya sendiri secara lebih objektif. Mengapa ia merasa dan berpikir sedemikian? Mengapa ia mempunyai reaksi emosi yang sedemikian? Apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam jiwanya?
a. Mungkin ambivalensi. Ambivalensi adalah perasaan yang mendua (ambivalent) antara love and hatred, antara cinta dan benci, antara suka dan tidak suka, antara senang dan kecewa. Perasaan ini yang sekarang ada padanya dalam hubungan dengan suaminya. Tadinya perasaan seperti ini tidak begitu dirasakan karena hidup ini jalannya lancar. Sebagai seorang dengan kepribadian dominan, ia merasa kebutuhan bathinnya terpenuhi baik di tempat kerja sebagai boss penentu segala-galanya, maupun di rumah dengan suami yang submissive. Tidak heran jikalau selama 5 tahun pernikahannya ia merasa bahagia.
Apa ia betul-betul bahagia? Ya, ia betul-betul bahagia, karena kebutuhan primernya sebagai individu dengan kepribadian dominan terpenuhi. Tetapi realita tidak selamanya begitu. Kondisi krisis di tempat kerjanya telah menutup pemenuhan kebutuhan primer tersebut. Ia merasa tak berdaya. Perannya sebagai boss di tempat kerja ternyata tidak lagi memberikan pemenuhan kebutuhan primernya. Ia tidak lagi dapat mengatur dan menentukan apa yang ia kehendaki. Usahanya tidak lancar lagi. Oleh sebab itu, ia tiba-tiba menyadari bahwa ia membutuhkan peran suami leader, suami yang pandai, yang dapat berperan menolong dirinya. Ia kecewa karena L yang selama ini dikasihaninya ternyata bukanlah suami yang dapat mengisi kebutuhannya tersebut.
Jadi perasaannya ambivalen. Ia bahkan ragu-ragu kalau ia masih mencintai suaminya. Seolah-olah lima tahun yang penuh kebahagiaan sirna begitu saja tanpa bekas. Oleh sebab itu, perasaan ambivalen ini bisa menjadi indikasi poin kedua yaitu:
b. Mungkin ia mempunyai masalah dengan jati dirinya (self- identitynya). Mirip seperti remaja yang tidak mempunyai jati diri, yang confuse dengan peran hidupnya. Yang selama bertahun-tahun dibesarkan dengan kemanjaan kedua orang tuanya, segala kemauan dan kebutuhannya terpenuhi, tetapi begitu saja tiba-tiba dapat menolak kedua orang tua tersebut. Bahkan merasa benci sekali dengan mereka karena melarang bergaul dengan pemuda yang baru dikenalnya. Remaja yang confuse dengan perannya ini merasa lebih mempercayai pemuda yang baru seminggu dikenalnya daripada kedua orang tuanya yang sudah lebih dari 18 tahun memberikan segala-galanya untuk dirinya.
Inilah gejala dari individu dengan masalah jati diri, dan K rupanya mempunyai masalah seperti ini. Sedikit pencetus (precipitating factor) krisis langsung mengubah seluruh tatanan perasaan yang selama ini dimilikinya. Karena memang selama ini tak pernah betul- betul memiliki tatanan perasaan yang sehat dan utuh dalam hubungan dengan suaminya. Persis seperti, hubungan remaja dengan kedua orang tuanya di atas. Selama bertahun-tahun mereka merasa happy, bahkan mungkin komunikasi mereka dirasakan akrab, penuh keterbukaan dan ada dialog. Tetapi sebenarnya dialog dan keterbukaan dalam komunikasi tersebut "empty/kosong." Kalau terbuka (Mis: orang tua mengatakan ketidaksetujuannya) mereka mengatakannya tanpa emosi yang semestinya dan tanpa tindakan-tindakan yang seharusnya menyertainya. Keterbukaan yang tidak mempunyai meaning dan tidak ditanggapi dengan meaning yang sesungguhnya. Akibatnya si anak sejak kecil tidak pernah belajar menjadi pribadi yang utuh dihadapan kedua orang tuanya. Yang lebih parah lagi, ia tidak kenal dirinya sendiri dan tidak kenal kedua orang tuanya. Dalam sistem "mari kita hidup tanpa konflik" ini kedua belah pihak setuju untuk hidup dalam sandiwara "damai di bumi." Dan inilah juga sistim yang menjebak pasangan suami-istri K dan L. Masalahnya adalah masalah jati diri. L pernah mengatakan secara terbuka kepada K bahwa dirinya sama sekali tidak tertarik dengan bisnis. Seharusnya keterbukaan ini mengindikasikan sesuatu seperti misalnya, "jangan harap untuk melibatkan saya dalam dunia bisnismu." Tetapi karena keterbukaan ini diucapkan dalam konteks sistem yang tidak kondusif untuk keterus-terangan yang sesungguhnya, maka hal tersebut terabaikan dengan begitu saja. Nah jebakan sistem dan peran keliru inilah yang harus dibukakan dan direfleksikan kepada K supaya ia sadar akan apa yang terjadi dalam hidupnya.
2. Kenalilah potensinya
Kalau K seorang dengan jiwa yang "sehat," maka dengan sendirinya (melalui refleksi pribadi di atas) ia akan segera sadar dan membenahi dirinya. Tetapi kalau ternyata ia terjebak oleh pola kerja struktur jiwanya yang "kurang sehat" (misalnya: ia tak dapat menerima realita bahwa L suaminya bukan tipe idealnya, dan berkeras dengan perasaan tak dapat mencintai L lagi) maka anda sebagai konselor harus merefer K kepada seorang terapist yang lebih professional. K membutuhkan psikoterapi dan tak dapat hanya dinasehati.
Meskipun demikian, peran anda tetap besar jikalau anda adalah teman K maupun L. Tetapi ingat, peran utama anda bukan nasehat, atau resep manjur." Peran anda adalah menjadi teman bicara yang baik yang bersedia mendengar dengan telinga hati yang dapat empathy atau merasakan perasaannya dan memahami cara berpikirnya. Jangan lupa refleksikan perasaan dan jalan pikiran tersebut dengan kekayaan kebenaran sekitar masalah tersebut. Maksudnya, jikalau K misalnya membicarakan tentang "kehambaran cintanya", maka anda baru dapat membuat refleksi yang baik jikalau anda sendiri memiliki konsep yang benar, sehat dan utuh tentang natur dari cinta.
Cinta memang tak sama dengan sekedar rasa suka, simpati, tertarik, dan ingin memiliki. Sebagai orang Kristen kita mengenal berbagai macam cinta (eros atau perasaan ingin memiliki dan menikmati; philea atau cinta persaudaraan atau persahabatan; storge atau cinta orang tua yang subjektif, yang ingin memberi dan melindungi; dan agaphe atau cinta Ilahi yang sebenarnya supranatural oleh sebab itu disebut sebagai buah roh dalam Gal 5:22). Jadi, apa yang K sebut dengan istilah "cinta," perlu di-clear-kan. Kalau ia seorang Kristen, seharusnya ia mendambakan cinta agaphe karena hanya itulah yang dapat memberikan jaminan keutuhan dan kebahagiaan keluarganya. Tidak seharusnya ia memutlakkan cinta-cinta yang lain yang naturnya manusiawi dan subjektif bahkan tergantung pada kondisi.
Di samping itu anda perlu waspada, mungkin kebenaran yang anda pakai sebagai konteks refleksi (ruang gerak kebebasan pemikiran K) tidak menghasilkan perubahan sikap atau kesadaran diri. Mungkin K bersikeras ingin tetap lebih mempercayai perasaannya sendiri. Nah untuk itu anda jangan terpancing ikut terjebak dalam fenomena yang diciptakan oleh K. Anda perlu memahami bahwa, cinta realitanya masih hidup dan mempunyai kekuatannya meskipun individu seperti K tidak lagi merasakannya. Karena, sekali lagi cinta tiada sama dengan perasaan subjektif. Cinta bisa mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk lain seperti misalnya: "tanggung-jawab (realitanya ia masih masak, mengatur rumah-tangga, tidur sekamar, dsb), ingin dikonsel (gelisah dan mencari penyelesaian), tak ada keinginan untuk bercerai, sangat mempertimbangkan nasib anak-anak, masih sangat ingin mengurusi urusan pasangannya, tetap menjalankan kegiatan-kegiatan bersama, dan sebagainya." Perasaan "hambar" tidak selalu sama dengan kematian cinta. Kemungkinan besar itu hanyalah perasaan kecewa yang justru membuktikan betapa besar keinginan K untuk menemukan alasan untuk dapat "lebih mencintai L." Kebutuhan dan keinginan seperti itu juga adalah manifestasi dari cinta.