oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Beberapa waktu yang lalu dalam suatu diskusi kelas, kami membahas perbedaan antara pria dan wanita dalam hal emosi. Hampir semua mahasiswa (pria) menyimpulkan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil oleh wanita cenderung lebih dikuasai oleh emosinya dibandingkan dengan pria.
Menurut hemat saya, wanita tidaklah kelebihan emosi, prialah yang kekurangan emosi. Di bawah nanti saya akan menjelaskan proposisi saya memberi komentar tentang topik "Keluhan Suami Nomor Satu" yang memang berkaitan dengan diskusi kelas itu.
Saya menemukan bahwa salah satu hal yang dikeluhkan oleh para pria adalah bahwa istri mereka "terlalu emosional". Biasanya yang mereka keluhkan adalah emosi yang cepat naik-turun tanpa "sebab-sebab yang nyata", "tanpa sebab sama sekali", atau "yang diributkan tidak masuk akal sama sekali". Saya mengira di balik keluhan mereka sebenarnya tersembunyi kebingungan menghadapi emosi yang kuat dari pihak istri.
Pada intinya, mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat tatkala istri yang mereka cintai itu sedang mengekspresikan emosi yang meluap dengan "berlebihan". (Saya memasukan kata ini dalam tanda kutip sebab saya yakin tidak semua wanita setuju dengan pandangan ini.) Akibatnya para pria merasa kewalahan alias frustasi berat dalam upaya mengerti emosi istri mereka.
Alkitab mencatat,"...menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia: laki- laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka..." (Kej 1:27 & 28). Di sini kita dapat melihat bahwa Allah tidak menciptakan satu jenis manusia, melainkan dua jenis: pria dan wanita. Menurut hemat saya, perbedaan antara pria dan wanita tidaklah terbatas pada penampilan fisik belaka, tetapi mencakup emosi dan cara berpikir. Alkitab mencakup emosi dan cara berpikir. Alkitab mencatat bahwa Allah Pencipta adalah Allah yang kreatif dan menghargai keragaman. Lihatlah ciptaan-Nya yang lain! Tidak ada dua kuntum bunga yang persis sama; tidak ada dua binatang sejenis yang 100% sama. Gereja, yang merupakan Tubuh Kristus, juga terdiri dari anggota-anggota yang memiliki fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, kenyataan adanya perbedaan antara pria dan wanita lebih sesuai dengan natur Allah dari pada jika pria dan wanita persis sama.
Bersumber dari pengamatan kasatmata, saya menyimpulkan bahwa secara lahiriah, wanita lebih diperlengkapi Allah dengan kemampuan untuk mengekspresikan emosi yang dirasakannya, dibandingkan dengan pria. Tatkala wanita merasa sedih, ia biasanya dapat mengekspresikan kesedihannya itu baik melalui tangisan maupun ucapannya yang bernada sedih. Sebaliknya dengan pria, tatkala suatu peristiwa yang menyedihkan terjadi, ia biasanya tidak langsung dapat merasakan kesedihan itu, apalagi mengekspresikan melalui tangisan. Inilah salah satu perbedaan mendasar antara pria dan wanita, meskipun kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua pria dan wanita adalah sebagaimana yang saya lukiskan di sini. (Keterbatasan ulasan saya adalah bahwa saya membahas hal ini dari sudut pandang"pada umumnya".)
Orangtua acap kali membesarkan anak sesuai dengan kecenderungan atau "bawaan" si anak. Anak yang tampaknya "mandiri" menerima perlakuan yang mendorongnya menjadi lebih mandiri. Anak yang tampaknya "lemah", sebaliknya memperoleh banyak kemudahan karena orangtua memperlakukannya sebagai anak yang seolah-olah lemah dan memerlukan pertolongan. Dengan pula halnya dengan emosi. Anak perempuan mendapatkan lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan emosinya, sedangkan anak laki-laki yang secara lahiriah kurang tanggap tehadap emosi, diperlakukan secara lebih "keras" karena secara fisik pun anak laki-laki tampil lebih "keras" dibandingkan anak perempuan. Tanpa disadari tertanamlah suatu pola perlakuan yang berbeda: anak laki-laki tidak "cocok" menjadi seseorang yang perasa, sedangkan bagi anak perempuan, hal ini lumrah saja.
Perlakuan lingkungan inilah yang akhirnya memperlebar jurang antara pria dan wanita yang memang sudah ada sejak penciptaan. Akibatnya adalah, anak laki-laki lebih didorong untuk mengabaikan dan menekan emosinya sedangkan anak perempuan lebih memiliki keleluasaan untuk merasakan dan menyatakan emosinya.
Berdasarkan pemikiran di atas inilah akhirnya saya menyimpulkan bahwa bukannya wanita yang kelebihan emosi, melainkan prialah yang kekurangan emosi. "Pohon" emosi pria yang memang secara alamiah lebih kecil daripada "pohon" emosi wanita, malah "ditebang" oleh lingkungan. Akibatnya, emosi berkadar tinggi menjadi suatu hal yang asing dan membingungkan bagi pria. Ketidaktahuannya menghadapi dan mengekspresikan emosi yang tinggi menyebabkannya memindahkan emosi itu ke penyaluran fisik, misalnya berkelahi atau memukul. Sedikit penjelasan, emosi mengandung energi, jadi emosi yang tak tersalurkan secara wajar menjadi energi yang membakar dan biasanya pada akhirnya tersalurkan dalam bentuk fisik.
Jadi kesimpulannya ialah, pria perlu menambah kepekaannya terhadap emosi dan memperkaya ketrampilannya menyalurkan emosi secara non- fisik. Saya percaya dengan cara inilah para pria akan dapat membantu istri mereka yang acap kali mengeluh bahwa suami mereka "tidak dapat mengerti" mereka. Perasaan "tidak mengerti" inilah yang sering membuat penyaluran emosi wanita menjadi tidak terkendalikan dan liar. Emosi yang tak terkendalikan biasanya berakar dari perasaan "tidak dipahami" yang akhirnya muncul dalam bentuk frustasi. Kepekaan pria terhadap hal-hal yang bersifat emosi akan menolongnya mengerti apa yang dialami istri. Istri juga dapat menolong suami menjadi peka terhadap emosi dengan cara memberitahu suami (dengan tenang) apa itu yang ia rasakan dan butuhkan dari suami.
Pria perlu mengingat akan kecenderungannya mengabaikan emosi dan berhati-hati untuk tidak mengatakan, "Baru begitu aja sudah beremosi. Saya sih tidak akan merasa begitu!" Camkanlah bahwa ucapan seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya akan mengobarkan apa kemarahan karena merasa tidak dipahami. Pria perlu mengkomunikasikan hasratnya untuk memahami perasaan istri dan istri seyogyanya belajar menjelaskan perasaannya kepada suami dengan cara yang dapat dimengerti oleh suami. Suami yang tidak mengabaikan dan menertawakan emosi istri niscaya akan menjadi suami yang tidak memiliki "Keluhan Nomor Satu" ini. Istri yang merasa dipahami oleh suaminya tidak perlu lagi mengumbar emosinya.